AdSense

Senin, 24 Desember 2012

MATINYA KOMUNITAS URBAN (Menyoal Ruang Sosial di Makassar Yang Hilang)


Ahmadin - Dosen FIS UNM dan Universitas Fajar (UNIFA)

Menelaah dinamika suatu kota dengan segala perubahan baik struktur ruang fisik maupun sosial, merupakan upaya menghadirkan kembali sisi kelampauan dari kehidupan sosial masyarakat. Tak terkecuali dinamika Kota Makassar yang dijadikan sebagai unit analisis dalam tulisan ini, akan berangkat dari penggambaran tentang kondisi kelampuan yang merupakan rangkaian proses perkembangannya di kemudian hari.
Tipuan Penguasa. Pojok Karebosi kini menjadi lahan Kafe. (Ariane Mays)
Tipuan Penguasa. Pojok Karebosi kini menjadi lahan Kafe. (Ariane Mays)



Pentingnya ruang sebagai titik tekan perhatian pada tulisan ini, merupakan dimensi lain dari teori sosial modern yang sejauh ini lebih tertarik pada persoalan waktu yang dilihat sebagai bidang dinamis dari perubahan sosial. Dengan demikian, kegelisahan serta kerinduan seorang Michel Foucault (1998) akan pentingnya menulis seluruh sejarah ruang, menjadi bagian dari kenyataan dalam khasanah kajian akademik terutama sosiologi sejarah.  

Tumbuh dan berkembangnya lokalitas buatan tersebut, dalam kenyataannya hanya melahirkan ruang yang membuat kehidupan sehari-hari terpenggal dan terisolir


Demarkasi Ekologi Berbasis Etnik
Makassar sebagai ibukota provinsi Sulawesi Selatan, secara historis pernah ditata dan dibentuk dengan setting kota zaman pertengahan di Eropa oleh rekayasa teknologi ala kolonial Belanda pada abad ke-17. Kehidupan dalam benteng (intra-muras) pun menjadi ciri khas kala itu dan menjadi elemen utama yang dominan, sekaligus berfungsi sebagai pertahanan dari serangan sporadis penduduk pribumi.

Elemen kedua tumbuh dan berkembang di sebelah timur laut Fort Rotterdam, oleh Speelman disebut perkampungan pedagang dengan perumahan bagi orang-orang asing dan pendatang (Negory Vlaardingen). Penghuni kawasan ini merupakan campuran dari orang-orang Tionghoa peranakan dan penduduk asli Kristen. Selain itu, terdapat juga perkampungan orang-orang Wajo di sebelah Timur Vlaardingen dan sebelah utara kampung Wajo ini terdapat tempat pemukiman orang-orang Cina yang disebut Kampung Cina atau Pecinan yang dalam bahasa Makassar disebut Paccinang.

Elemen ketiga yang ikut membentuk struktur dan tata ruang pemukiman dalam pusat wilayah Makassar adalah Kampung Melayu, yakni pemukiman penduduk asli yang bersifat kohesif di Utara Vlaardingen. Penamaan ini didasarkan oleh asal usul penghuninya yakni orang-orang Melayu yang diusir dari Makassar karena mudah diperalat oleh Belanda bersama dengan orang Bugis. Elemen keempat yakni kawasan pemukiman di sebelah Selatan Fort Rotterdam yang dikenal sebagai Kampung Baru. Daerah ini dihuni oleh orang-orang pribumi dari Asia serta budak yang telah dibebaskan, yang bekerjasama dengan Belanda dan menjadi Kristen dikenal dengan istilah Mardijkers. Nama ini kemudian disesuaikan dengan pengucapan penduduk setempat, yakni Maradekaya sebagaimana penyebutan yang dikenal hingga sekarang. 

Selain itu, di kota Makassar juga terdapat perkampungan lain seperti Kampung Lette dan Loji yang terletak di pinggir pantai (sebelah Barat Jalan Nuri sekarang). Penamaan Lette didasarkan atas kecenderungan penghuninya yang hanya tinggal sementara, sedangkan Kampung Lojia didasarkan atas adanya Benteng Lojia masa VOC dulu. Sementara itu, di Jalan Mangkura (sekarang bernama jalan La Galigo dan Jalan La Sinrang) pernah terdapat pemukiman orang Banjar yang pada masa VOC bernama kampung Mangkura. Bahkan masih banyak lagi pusat permukiman lainnya termasuk Kampung Maluku di Jalan Datu Munseng, pemukiman orang Buton di sekitar pasar Butung, dan sebagainya.

Karakteristik kota yang ditata dengan arsitektur kolonial ala zaman pertengahan di Eropa pada beberapa kota bekas kekuasaan Belanda di Indonesia termasuk Makassar, mengingatkan kita pada formulasi dan tipe kota menurut Weber. Menurutnya, satu elemen yang muncul dari berbagai batasan mengenai kota adalah adanya kumpulan tempat tinggal yang terpisah namun dalam satu pemukiman yang tertutup. Dalam ruang tertutup inilah tercampur aspek kekuasaan bersenjata (militeristik) sebuah kota, sebagaimana anggapan bahwa kota sejatinya adalah juga benteng.

Dominasi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Makassar selama beberapa waktu lamanya, memang harus diakui telah memproduksi suatu tatanan kehidupan sosial, pola pemukiman, dan situasi ekologi khas ala Eropa. Diferensiasi dan bahkan segragasi dengan berbagai ukurannya, pun tampak memetakan secara sosial masing-masing kelompok berlatar etnik di kota ini. Serentak dengan itu, kepentingan dan kekuasaan menjadi motif kebijakan sehingga pemetaan yang cenderung separatif-polaritatif ini lebih bersifat politik.
Demarkasi ekologis berdasarkan etnik di Makassar secara historis, dipengaruhi oleh beberapa faktor situasional berikut ini:

  1. Warisan masa lampau, yakni Makassar sejak dahulu kala merupakan daerah tujuan (niaga) sehingga berbagai pendatang dengan latar sosial dan etnik beragam menjadi penghuni beberapa tempat. Dapat dipastikan bahwa faktor penarik dan pendorong kedatangan orang-orang dari luar ke Makassar, antara lain terkait dengan pemanfaatan jaringan kekeluargaan. Dengan demikian, proses pembentukan pemukiman awal di daerah tujuan (Makassar) mengikuti atau mengelompok berdasarkan anggota etniknya.
  2. Kebijakan pemerintah kolonial, yakni kebijakan monopoli VOC dan penataan pemukiman secara politik oleh pemerintah Belanda mengikuti setting kota abad pertengahan di Eropa.
  3. Kuatnya fanatisme etnosentrisme, yakni terkait dengan beberapa prinsip dasar bahwa hidup ideal adalah hidup bersama dan merasa senasib-sepenanggungan sebagaimana prinsip orang Bugis padaidi, padaelo, sipatuo, sipatokkong. Prinsip yang mengandung makna relevan, juga dapat ditemui di kalangan orang-orang Makassar seperti: abbulo sibatang (bermakna pentingnya kebersamaan dalam segala hal). Hal ini identik dengan pernyataan Lawson (2001) bahwa pengelompokan permukiman terbentuk atas dasar kepercayaan dan latar budaya masyarakat. Bahkan menurut penulis buku The Language of Space ini, bahwa anggota masyarakat hidup dalam proses pemanfaatan wilayah pemukiman untuk kelangsungan tradisi atau warisan budaya.
  4. Solidaritas mekanik dan masih kentalnya primordialisme, yakni berhubungan dengan keinginan mereka untuk selalu bahu-membahu dalam setiap pekerjaan atau persoalan. Selain itu, juga terkait dengan penghormatan terhadap tokoh atau pemimpin yang kharismatik. Tipe Kehidupan masyarakat semacam ini dihubungkan dengan social relationship yakni ikatan ideologi atau kepercayaan terhadap pesan leluhur. Karena itu, adanya interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural, pada dasarnya disebabkan oleh munculnya sentiment community.

Kencenderungan hidup mengelompok berdasarkan ikatan etnik dan keserupaan kultural ini, juga merupakan tradisi pedesaan serta warisan historis yang berselimutkan kebanggaan identitas para penghuninya. Gejala sosial seperti ini, menurut John Friedman dalam  Planning in the Public Domain: from Knowledge to Action (1988), disebutnya dengan istilah life space dan political community. Bahkan merupakan suatu kekuatan sosial (social power), yang terbentuk dalam satu wilayah kehidupan masyarakat yang secara fisik berpusat pada kekuatan unit keluarga dan aktivitasnya. Dengan demikian, life space menciptakan rasa bangga terhadap tempat tinggalnya dan kesatuan wilayah tempat tinggal menciptakan komunitas yang membentuk political community sebagai kekuatan publik dalam kepentingan bersama pada suatu ruang komunitasnya.   

Uraian tersebut menunjukkan bahwa demarkasi ekologi berbasis etnik sebagai karakteristik pemukiman di Makassar, merupakan refleksi dari life space untuk mengukuhkan local identity (identitas lokal) dan menciptakan goresan pada ruang tempat mereka hidup. Dengan demikian, proses ini pada gilirannya mengembangkan suatu space (ruang) menjadi place (tempat). Karakteristik sosial dan tipe struktur pemukiman seperti ini, menunjukkan bahwa di kota Makassar berdasarkan perspektif place theory dan space phenomenology, ada satu fase perkembangan yang dicirikan oleh keterikatan manusia pada ruangnya sebagai wujud power of territory atau kekuatan lokal berbasis etnik.

Rombaknya Ikatan Sosial Berbasis Etnik
Pertumbuhan dan perkembangan Kotamadya Ujungpandang, pada gilirannya membutuhkan strategi pembangunan yang solutif terutama terkait dengan pemukiman. Maksudnya, bahwa perubahan tata ruang kota perlu dilakukan sekaligus yang dianggap sebagai salah satu faktor rombaknya pemukiman berbasis etnik. Kondisi pemukiman di Makassar yang sebelumnya merupakan aglomerasi kampung-kampung berbasis etnik, kemudian berubah dalam bentuk pengintegrasian ke dalam wilayah administratif pemerintahan bernama kecamatan. Kecuali Kampung Wajo yang tetap dijadikan sebagai nama kecamatan, Kampung Maloku menjadi Kelurahan Maloku, Kampung Melayu menjadi Kelurahan Melayu, beberapa pemukiman lainnya tampak menggunakan nama lain untuk menyebut gabungan pemukiman tersebut.

Untuk mengkaji fenomena rombaknya ikatan sosial dan berubahnya struktur pemukiman berbasis etnik di kota Makassar, menarik didekati dengan hampiran konsep urban revolution. Karena itu, fokus perhatian dari kajian ini berorientasi pada 3 aspek, yakni: penggerak utama (prime mover), sebab-sebab berganda (multivariant causality), dan efek berganda (multiflier effect).

Tentang aspek penggerak utama (prime mover) yang menyebabkan rombaknya ikatan sosial tersebut, dielaborasi dengan menggunakan (atau membandingkan) pandangan Childe dalam The Urban Revolution: Contemporary Archeology (1972) tentang kehidupan kota. Menurutnya, fenomena perkotaan merupakan tahap akhir dari evolusi kebudayaan secara menyeluruh. Tahap berikutnya akan muncul apa yang diistilahkan sebagai urban revolution dan dicirikan oleh perubahan fundamental dalam tatanan ekonomi yang pada gilirannya memengaruhi pertumbuhan penduduk dan pemukiman. Singkatnya, bahwa Childe dalam konteks ini telah mengukuhkan perkembangan teknologi (atau ekonomi) sebagai ciri masyarakat kota. Bahkan ia menggambarkan fenomena kehidupan kota, sebagai simbol revolusi ekonomi.

Bila merujuk pada konsep prime mover ala Childe tersebut, maka proses rombaknya ikatan sosial dan struktur pemukiman berbasis etnik di Makassar pertama-tama karena dipicu oleh revolusi ekonomi. Maksudnya, perubahan orientasi hidup masyarakat sekaligus perkembangan variasi kebutuhan oleh tuntutan zaman, pada gilirannya menyebabkan para anggota kelompok etnik berubah ciri solidaritas sosialnya.

Dengan kata lain, perubahan dan perbedaan kepentingan (kebutuhan) hidup masing-masing orang, lalu melahirkan kecenderungan hidup baru yang sebelumnya berciri collective action (solidaritas mekanik) berubah menjadi individual action (solidaritas organik). Dalam perspektif teori sistem, keragaman menyangkut tujuan dan kepentingan serta perbedaan orientasi masyarakat kota, pada gilirannya menciptakan diferensisasi dan polarisasi sosial baik dalam hal aktivitas maupun lingkungan sosial.

Mengenai sebab berganda (multivariant causality), dapat dibandingkan dengan perspektif Sjoberg (1969) yang memandang munculnya kehidupan kota disebabkan oleh tiga faktor yakni: lingkungan alam yang mendukung, teknologi maju, dan struktur politik yang mantap. Bahkan kota menurutnya melewati tahapan evolusi dengan tiga tahap, yakni pertumbuhan dalam ukuran dan jumlah, persebaran kota, keruntuhan dan kemunculan kembali.

Dalam kaitannya dengan rombaknya ikatan sosial berbasis etnik (sebagai ciri struktur pemukiman sebelumnya), maka konsep sebab berganda ini menarik. Dukungan lingkungan alam sebagai salah satu dari tiga faktor yang disebutkan Sjoberg tersebut, terkait dengan perubahan dan perluasan areal pemukiman yang sekaligus membuka peluang kepada siapa saja untuk menempati lahan-lahan yang tersedia dengan beragam alasan (pertimbangan) berdasarkan kebutuhannya. Sebut saja pertimbangan jarak dengan tempat bekerja (beraktivitas sehari-hari), lingkungan sosial (terkait keamanan), jaringan kerja (sosial) baru (mungkin terkait patron-klien), dan sebagainya.

Faktor kedua menyangkut teknologi maju, terkait dengan kemungkinan mobilitas sosial terjadi karena faktor pertimbangan kemudahan akses fasilitas publik, seperti: lembaga pendidikan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, jalur transportasi, penggunaan fasilitas telepon, dan lain-lain. Salah satu yang cukup menarik dari faktor ini, yakni penggunaan perangkat komunikasi semisal telepon berpotensi melahirkan perubahan pola pikir tekait dengan ikatan keluarga.

Kondisi seperti ini pada gilirannya akan berkembang menjadi fragmentasi dimana masing-masing kelompok sosial menduduki ruang-ruang tertentu yang cukup jelas garis demarkasinya

Sebut saja misalnya seseorang memilih meninggalkan anggota keluarga yang sebelumnya tinggal berdekatan (secara fisik), karena pertimbangan bahwa mereka setiap saat dapat berkomunikasi tanpa harus bertemu secara fisik (face to face). Singkatnya, mereka beranggapan bahwa meski berjauhan secara fisik, namun mereka sesama anggota keluarga (kerabat) masih dekat secara psikis oleh bantuan fasilitas teknologi tersebut.  Hal seperti inilah yang dilukiskan oleh Evers (2002) tentang kehidupan yang berubah menjadi abstraksi dan kota menjadi bayang-bayang. Bahkan saat ia membentang kondisi perkotaan di Asia Tenggara lewat hampiran kontruksi emik-nya, ia mengamini pernyataan Castells (1983), bahwa kota masa kini adalah ruang pengucilan kolektif.  

Faktor ketiga yakni struktur politik yang mantap, terkait dengan jaminan (garansi) sosial baik berhubungan dengan keamanan dalam hal status kepemilikan (penguasaan) tanah, maupun bentuk-bentuk ancaman sosial dari kelompok-kelompok tertentu. Maksudnya, kondisi saat ini sudah terbilang kondusif dan tidak seperti jauh sebelumnya dimana kehidupan sosial masyarakat masih diliputi oleh fanatisme kelompok yang sangat kental.

Struktur politik yang mantap dan jaminan kemanan yang tidak meragukan seperti ini, secara historis menandai berakhirnya fase kehidupan intra-muras (kehidupan dalam benteng). Maksudnya, mereka yang sebelumnya hidup mempertahankan diri dalam kelompoknya pada satuan pertahanan keamanan dengan benteng tersebut, kemudian keluar berbaur secara intergratif dengan penduduk sekitarnya. Demikian pula saat keadaan lingkungan luar sudah kondusif, juga mendorong anggota etnik yang sebelumnya bermukim bersama kelompoknya dalam satu konsentrasi pemukiman yang ekslusif lalu keluar berbaur dengan anggota masyarakat secara umum. 

Tentang efek berganda (multiflier effect), diulas dengan mengacu pada pandangan Renfrew (1972) yang memandang kemunculan dan pertumbuhan kota sebagai hasil dari proses pemusatan penduduk dalam rangka interaksi untuk tujuan-tujuan tertentu. Bahkan menurutnya, munculnya pusat pemukiman kota dapat terjadi melalui dua macam proses, yakni proses pertumbuhan endogen dan eksogen. Proses pertama, merupakan proses pemusatan penduduk dalam masyarakat yang berlangsung secara independen. Proses kedua, merupakan proses pemusatan penduduk disebabkan karena masuknya sistem sosial budaya luar yang memiliki tingkat perkembangan lebih maju.

Matinya Komunitas Etnik
Tatkala menggambarkan tentang kontruksi emik perkotaan di Asia Tenggara, Evers (2002) berangkat dari sebuah pertanyaan fundamental yakni proses apakah yang membentuk struktur aglomerasi kota masa kini?. Melengkapi kegelisahan akan perubahan wajah kota tersebut, ia lalu mengamini pernyataan Castells (1983) bahwa: “kota masa kini adalah ruang pengucilan kolektif dan kekerasan individual, yang ditransformasikan oleh berbagai umpan balik menjadi suatu aliran yang tak pernah berhenti dan tak pernah mulai. Kehidupan berubah menjadi abstraksi, kota menjadi bayang-bayang”.

Tipologi kota yang digambarkan oleh Evers dan Castells tersebut, kini pun menjadi karakter kota Makassar terutama berawal sejak hegemoni kapitalisme menjamah “keperawanan” wilayah-wilayah pemukiman domestik dan “mengobrak-abrik” ruang-ruang sosial yang penuh makna simbolik kultural. Dengan kata lain, terjadilah semacam shiffing paradigm tentang makna sebuah ruang spasial yang sebelumnya diukur berdasarkan takaran nilai budaya yang sakral pada gilirannya dimaknai dengan alat ukur nilai jual (rupiah) yang profan. 

Perubahan orientasi nilai (transfer of values) atas spasial tersebut, lalu diiringi oleh praktek jual-beli tanah antara pemilik yang juga sesungguhnya membutuhkan sejumlah uang untuk memenuhi berbagai keperluan hidup dengan kaum pemilik modal yang hendak membuka usaha tertentu pada lahan/tanah tersebut. Konsekuensi keruangan (spatial consequences) yang ditimbulkan oleh praktek jual-beli lahan tersebut, yakni runtuh dan rombaknya lokalitas dengan komunitas khusus yang menghuninya. Dengan kata lain, meminjam istilah Lefebvre (lihat Evers, 2002) dikomoditaskannya lokalitas oleh kekuatan kapitalisme, pada gilirannya melahirkan ruang-ruang buatan (ruang abstrak) yang berujung pada gejala “kematian sosial” sebagaimana istilah yang dipopulerkan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), saat ia membentang realitas kebudayaan dalam era yang diberinya label “posmetafisika”.

Berbagai kompleks perumahan yang dibangun dengan tipe dan desain arsitektural yang variatif secara artistik, pada gilirannya memunculkan tipe hubungan warga yang dekat secara fisik namun jauh secara psikis. Serentak dengan itu, muncullah anggapan dan bahkan kecenderungan daripada berkenalan dengan tetangga, para penghuni kompleks perumahan lebih memilih ke pusat perbelanjaan (mall), restoran, kantor, rumah teman, pulang kampung dan lain-lain.

Tumbuh dan berkembangnya lokalitas buatan tersebut, dalam kenyataannya hanya melahirkan ruang yang membuat kehidupan sehari-hari terpenggal dan terisolir. Bahkan hanya memuaskan permintaan pihak tertentu, sehingga diferensiasi fungsional ruang kota dan kegunaannya yang terspesialisasi, berpotensi menghilangkan jati diri. Hal seperti inilah yang  sangat kontradiktif, dimana penciptaan lokalitas idealnya sebagai upaya membangun saling ketergantungan antara sesama penghuni lokalitas dan dengan demikian dapat terhubungkan kembali aspek-aspek sosial, politik, dan psikologi dalam kehidupan sehari-hari. 

Kondisi yang kontradiktif tersebut, diperparah oleh lahirnya prinsip menganggap ruang (spasial) tidak lagi penting untuk sebuah interaksi, transaksi, serta komunikasi. Semua itu, dapat dilakukan melalui bantuan media/perangkat teknologi komunikasi seperti telepon, sehingga berjauhan tempat tinggal sesama keluarga pun tidak lagi menjadi persoalan yang mendasar. Bahkan sejak dikenal/digunakannya teknologi 3G melalui handphone atau telepon selular, orang-orang dengan kepentingan tertentu dapat berkomunikasi tak ubahnya bertemu secara langsung atau tatap muka (face to face). Keberlanjutan dari prinsip dan kecenderungan seperti ini, merupakan fenomena deteritorialisasi yang mengancam rapuhnya komunitas urban.

Kepingan yang Tersisa
Kuatnya arus desakan kaum pemilik modal kota mengekspansi wilayah ke arah pemukiman-pemukiman berbasis (budaya) lokal, pada gilirannya telah meluluhlantakkan basis-basis kultural yang semestinya menjadi warna dan nuansa tersendiri dari wajah kota Makassar. Akibatnya, identitas (jati diri) sebuah kota (Makassar) pun hilang secara gradual digantikan oleh identitas baru yang semu.

Akhirnya, hanya beberapa identitas sosial dan simbol kultural etnik yang masih tersisa oleh “ganasnya” gelombang modernisasi dan globalisasi kota. Sebut saja identitas perkampungan orang-orang Melayu, dewasa ini hanya dapat dilihat melalui Masjid Makmur Melayu, jejak komunitas orang-orang Wajo pada Masjid Taqwa, peninggalan komunitas orang-orang Maluku pada Masjid Maluku, dan Klenteng-kelenteng di Jalan Sulawesi sebagai jejak perkampungan orang-orang Tionghoa di Makassar. 

Dalam kaitannya dengan kontruksi kultural, maka perkembangan Kota Makassar sejauh ini lebih diwarnai oleh ideologi baru dan strategi politik penguasa. Dengan demikian, tidak adanya kelompok strategis (seperti kata Evers) yang mampu mendominasi kontruksi kultural kota, maka sama artinya membuka ruang sekaligus peluang kepada struktur-struktur lain muncul dan kota pun akhirnya akan tampil plural (majemuk). Kondisi seperti ini pada gilirannya akan berkembang menjadi fragmentasi dimana masing-masing kelompok sosial menduduki ruang-ruang tertentu yang cukup jelas garis demarkasinya.

Efek sosio-kultural yang muncul di balik kondisi masyarakat Makassar yang majemuk dan hanya dipertautkan oleh pasar serta bingkai pemerintahan (meminjam istilah Furnivall, 1980) adalah terjadinya overlap dari segi makna terutama bila kelompok-kelompok sosial melekatkan nilai-nilai simbolis yang berbeda pada ruang yang sama. Kemungkinan lainnya adalah makna yang tumpang tindih tersebut sama-sama hidup, namun akan diabaikan oleh kelompok-kelompok lain yang tidak menganutnya. [V]

by Facebook Comment

PERJANJIAN GARASSI DAN BENTENG PA'NAKKUKANG


perjanjian tersebut dibuat dengan isi terpenting antara lain sebagai berikut :
1.       Orang-orang Makassar untuk selanjutnya tidak akan mencampuri lagi segala urusan yang mengenai Buton, Manado dan Ambon.
2.       Orang-Orang makassar tidak boleh lagi melakukan pelayaran Ke Ambon
3.       Orang-rang Portugis harus meninggalkan Somba Opu (Gowa) untuk selama-lamanya, sedangkan belanda (VOC) diberikan kebebasan untuk berdagang disana.
4.       Raja Gowa harus membayar segala biaya perang dan menyerahkan Pangeran Kalamata (saudara Sultan Ternate) kepada Belanda.
5.       Selama Raja Gowa belum menandatangani perjanjian ini dan melaksanakan apa yang tercantum didalam perjanjian, maka pasukan-pasukan Belanda (VOC) akan tetap menduduki benteng Panakkukang yang telah dirwbutnya pada tanggal 12 Juni 1660.
Karena tidak ada persesuaian paham mengenai jumlah biaya ganti rugi perang maka seperti apa yg tercantum pada poin 4 maka pihak Belanda (VOC) memutuskan mengirimkan sebuah perutusan, yaitu pada tanggal 13 oktober 1660 perutusan belanda yg terdiri dari Zacharias Wagenaer dan Jacob Cau tiba di somba opu Namun Sultan Hasanuddin menolak mengadakan pembicaraan sebelum Karaeng popo kembali dari Batavia, dan pada tanggal 24 November 1660 barulah karaeng Popo tiba kembali di Somba Opu. Pada tanggal 1 Desember 1660 dengan terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani  perjanjian seperti yg tercantum diatas yaitu Perjanjian Belanda-Gowa untuk kesekian kalinya dan setelah Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian itu maka segera pasukan-pasukan (VOC) mengosongkan dan meninggalkan benteng Panakukang.  akan tetapi perjanjian inipun tidak berlangsung lama karena dua pasal  yg termuat didalamnya terlalu berat dan sangat merugikan Gowa, yaitu :
-          Larangan pada orang2 Makassar untuk berlayar diperairan Banda
-          Pengusiran orang-orang portugis di Somba Opu

Perjanjian pertama terjadi pada tanggal 10 Agustus 1660, namun perjanjian ini bersifat sementara di muka kota Garassi antara pihak Gowa dan Belanda. Isi perjanjian itu memuat pasal-pasal sebagai berikut :
1.       Penghentian permusuhan dan peletakan senjata atau penghentian tembak menembak berlangsung selama utusan kerajaan Gowa, Karaeng Popo berada di Batavia.
2.       Kedua belah pihak tetap memiliki kepunyaannya, seperti halnya sebelum benteng Panakukang direbut oleh Belanda.
3.       Orang-Orang Makassar (Kerajaan Gowa) tidak akan  menjalankan tindakan yang bermusuhan terhadap orang-orang Belanda (VOC).
4.       Selain daripada untuk menual dan meyerahkan bahan-bahan makanan, maka orang-orang Makassar tidak boleh mendekati dan menghampiri kedudukan belanda (VOC) di panakukang.
5.       Orang-orang Portugis yang berada di somba Opu (ibukota Kerajaan Gowa) tidak boleh keluar pelabuhan dan berlayar.
6.       Bangsa-bangsa dan saudagar-saudagar lainnya yang belum pecah peperangan bergaul sebagai sahabat orang-orang Makasssar (Kerajaan Gowa) harus menjauhkan diri dari pelabuhan somba opu.
Perjanjian Garassi’ ini adalah sebuah perjanjian Gencatan senjata yang mendahului perjanjian yang sedang diurus oleh dan akan dirundingkan oleh Karaeng Popo sebagai Utusan Sultan Hasanuddin dengan para Pimpinan VOC yang telah ditunjuk di batavia.'NAKKUKANG
by Facebook Comment