AdSense

Kamis, 29 Agustus 2013

ROYONG, Musik Vokal Purba dari Negeri Makassar

Asal usul royong dapat ditelusuri melalui sejarah kuno yang digali dari mitos asal usul raja-raja yang memerintah di Sulawesi Selatan. Menurut Prof. Dr. H.A Kadir Manyambeang, dalam Solihing (2004: xiii), setelah periode Galigo, selama pitu pariameng (tujuh masa) aleq lino (pertiwimengalami kekosongan pemerintahan yang berakibat timbulnya pertikaian antar kelompok masyarakat yang disebut dengan sianre bale (chaos) dan sangat sulit diatasi oleh para pemimpin kaum. Kemudian dari peristiwa ini muncul Tomanurung (orang yang turun dari langit). Hampir setiap daerah di Sulawesi Selatan memiliki cerita tentang Tomanurung, tak terkecuali Gowa.
Tomanurung di Gowa bernama Putri Tamalate, seorang perempuan yang turun dari langit beserta dua dayang-dayang, lengkap dengan gaukang. Dayangdayang inilah yang menyanyikan royong seiring dengan turunnya Putri Tamalate ke peretiwi (dunia). Nyanyian royong ini, didengar oleh penduduk Gallarang Mangasayang kemudian melaporkannya kepada para pemimpin kaum (Batesalapang dan Paccallayya). Batesalapang dan Paccallayya kemudian pergi menemui Tomanurung. Selanjutnya Tomanurung kawin dengan Karaeng Bayo (raja Gowa pertama). Dalam perkawinan tersebut, royong kembali dinyanyikan oleh kedua dayang-dayang Putri Tamalate. Lalu ketika anak pasangan Karaeng Bayo dengan Putri Tamalate, yang bernama Karaeng 
Tumasalangga Baraya lahir, royong kembali dinyanyikan oleh dayang-dayang. Setelah itu dayang-dayang pun menghilang. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa royong berasal dari langit dan turun ke bumi bersama dengan datangnya Tomanurung di Gowa. Tradisi ini kemudian dilakukan dalam setiap upacara adat atau ritus orang Makassar, terutama dalam siklus kehidupan manusia. Johra Daeng Pajja (Solihing,2004:68) mengungkapkan asal-usul royong berdasarkan informasi dari neneknya :
“…royong itu bersamaan hadirnya Tumanurunga di Gowa. Sebab sewaktu
anaknya sakit ia menangis terus menerus, setelah nyanyian syair royong
ditembangkan, maka ia berhenti menangis, seketika itu pula penyakitnya
sembuh.”
Dari cerita yang diperoleh dari Johra Daeng Pajja tersebut, kemudian masyarakat Makassar meyakini kalau senandung royong mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Pengalaman-pengalaman tersebut lalu diturunkan ke generasi berikutnya.

Royong dalam Masyarakat Makassar
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pementasan royong biasanya dilakukan dalam upacara-upacara adat dan upacara daur hidup (life cycle rites). Ada beberapa upacara di mana royong biasanya ditampilkan. Namun berikut ini hanya akan dipaparkan upacara A’ccera Kalompoang dan acara perkawinan Makassar, di mana terdapat tahapan yang di dalamnya royong ditampilkan, yaitu;

Upacara A’ccera Kalompoang
Upacara A’ccera Kalompoang adalah upacara ritual dalam lingkungan kerajaan Gowa yang bertujuan mencuci benda-benda pusaka kerajaan. Biasanya dilaksanakan pada bulan Zulhajji, bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Upacara ini terdiri dari beberapa rangkaian yaitu, antara lain Alleka’ Je'ne’, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang. Seperti yang diungkapkan oleh Andi Maknum Bau Ta’yang, seorang bangsawan Gowa yang juga menjabat sebagai kepala museum Balla Lompoa;
…ambil air (Alleka’ Je'ne’), dia (pa’royong) ikut sambil menyanyi...itu
hari pertama, setelah ambil air, disembelimi tuh kerbau (Ammolong Tedong), dia
ikut royong juga,… kemudian pa’royong kembali naik menyanyi toh di Balla
Lompoa, ma’royong…nanti malamnya acara inti yaitu Appidalleki…menyanyimenyanyi
mi itu pa’royong…sampai selesai. Begitu selesai makanmi
bersama…Ada juga barsanjinya…besok na Alangiri Kalompoang…
Rangkaian pertama adalah upacara Alleka’ Je’ne pengertiannya menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah yang akan digunakan dalam pencucian benda-benda pusaka. Pengambilan air bertuah ini diiringi tunrung pakballe dan royong. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat matahari sekitar sitonrang bulo (setinggi bambu). Kegiatan diawali dengan doa kepada Yang Maha Kuasa dan bersalawat kepada Rasulullah.
Rangkaian selanjutnya adalah Ammolongan Tedong yaitu penyembelihan hewan kurban, yang bermakna penangkal dan penolak bala. Dilaksanakan pada saat allabbang lino (matahari sedang pada titik kulminasi). Kegiatan ini diawali dengan appasili tedong dan apparurui, perlakuan khusus dengan mengarak hewan kurban mengitari istana sebanyak tiga kali sebelum disembelih. Penyembelihan ini bermakna sebagai penangkal dan penolak bala yang berkait dengan darah.
Prosesi ini juga diiringi dengan tunrung pakballe dan royong. Pada malam harinya (9 Zulhijjah), setelah shalat Isya, diadakanlah upacara Appidalleki, yang berarti persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.Rangkaian ini diiringi oleh Royong. Setelah prosesi selesai dilanjutkan dengan makan bersama. Keesokan harinya (10 Zulhijjah), setelah shalat Idul Adha, dilaksanakanlah assosoro dan annimbang kalompoang. Kegiatan ini ditandai dengan pembersihan dan pencucian benda-benda pusaka kerajaan. Kemudian menimbang bobot benda-benda tersebut. Assosoro artinya meluluhkan segala noda dan noktah, dalam hal ini sifat-sifat buruk manusia, sedangkan allangiri artinya menanamkan keyakinan dan kesucian. Annimbang pertanda analisa dan evaluasi serta penentuan tingkat kesejahteraan masyarakat pada tahun mendatang.

Upacara Perkawinan
(upacara daur hidup masyarakat Makassar), dalam perkawinan, terdapat beberapa rangkaian, di mana pementasan royong dilakukan. Di mulai saat Passili, untuk memohon kepada yang kuasa agar dijauhkan dari marabahaya. Lalu kemudian dilanjutkan dengan A’bubbu. Sambil
memotong beberapa helai rambut halus yang ada pada ubun-ubun, diiringi dengan bunyi-bunyi tradisi (royong). Selanjutnya korontigi, prosesi menyucikan diri semalam sebelum akad nikah keesokan harinya. Korontigi dimeriahkan oleh royong beserta tunrung pakballe, adakalahnya dipadukan dengan barsanji/rateq.

Pementasan Royong
Sebagai sebuah tradisi yang hadir dalam upacara-upacara ritual, pementasan royong penuh dengan kesakralan. Berbagai aturan harus dipatuhi dalam pementasannya, dari tahap persiapan, tempat dan waktu pementasan. Pementasan royong akan terlaksana dengan baik bila aturan-aturan dijalankan. Apabila pelaksanaan royong tidak sejalan dengan adat kebiasaan, misalnya sesajen yang tidak lengkap, biasanya salah satu dari keluarga yang menggelar hajatan akan kesurupan. Sebagaimana yang dituturkan, keluarga Kartini Dg Rannu, ketika seorang anaknya kawin. Kartini Dg Rannu sempat mengalami kesurupan;
…mengamuk-mengamuk ki, karena jajakkangnya (sesajennya) tidak
lengkap…itu eeehh..kaddo minya’nya,…waktu cuci beras tidak ada bunyibunyian,
tidak dipukul genrang dan royongnya. Mestinya saat dicuci itu beras
ada bunyi-bunyian genrang, ana baccing, kancing, atau parappasa. Makanya ada
kejadian….
Sama halnya yang disampaikan oleh Mulang Dg Memang,” punna tena di royongi anjo bunting ia saba salah serre pamamanakanna agga pai garring tunnabanabu”, jika tidak ada pementasan royong pada acara perkawinan, maka salah seorang anggota keluarga mempelai akan sakit. Dia akan kesurupan dan merasa keberatan.
Pada acara perkawinan royong disajikan sebagai musik vokal dengan syarat dan aturan tersendiri. Adapun sarana penyajian yang harus diperhatikan meliputi tempat, waktu, pemain dan kostum. Tempat pertunjukan royong selalu berada di dua tempat, yaitu ri kale balla (ruang tengah rumah) dan ri bilik bungtinga (dalam kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Biasanya tempat vokalis royong bersama dengan musik pengiring ansambel ganrang pakballe (gendang pengobatan)Jika yang melakukan hajatan adalah kalangan bangsawan, maka dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga caddi (panggung kecil).

Perlengkapan Royong
Perlengkapan royong meliputi bahan dan peralatan dalam prosesi pementasannya. Bahan yang dimaksud adalah bahan-bahan jajakang, yang terdiri dari;
a) Leko Sikabba (daun sirih satu ikat, beserta kapur) dan Rappo Sikabba
(buah pinang satu ikat). Daun sirih dengan pinang seikat memiliki makna a’lekoki na’nikillaeki rappo yang mengandung arti bahwa jika pohon itu berdaun, diupayakan untuk berbuah. Jika melakukan hajatan, maka pelaksana hajatan mengharapkan apa yang dicitacitakan dapat terwujud.
b) Tai Bani atau lilin merah dua buah, dimaknai sebagai penerang, baik untuk pelaksana hajatan maupun pelaksana ritual (pa’royong).
c) Uang sesuai dengan keikhlasan pelaksana hajatan. Uang ini sebagai simbolisasi pappakalabbiri yang berarti pemberian penghargaan kepada pelaku ritual atas pekerjaannya.
d) Air bening 1 gelas
e) Pa’dupang (tempat kayu bara untuk membakar kemenyan)
f) Kemenyan
g) Berasa si gantang (beras 4 liter)
h) Gula merah, dan kelapa masing-masing 1 buah
i) Kain putih, sebagai pembungkus peralatan ritual, merupakan simbol bahwa suatu upacara dimulai dengan kesucian (putih), agar apa yang diinginkan dapat tercapai dengan baik, dan agar upacara berlangsung dengan baik
j) Tembakau (rokok)
Adapun peralatan royong sebagai instrumen pengiring royong berupa alat bunyi-bunyianPengiring royong dikategorikan sebagai ansambel musik, karena merupakan gabungan dari beberapa instrumen, yang terdiri dari, instrumen dari (a). tunrung pakballe dan (b) instrumen yang dimainkan sendiri oleh pa’royong;
a) Instrumen Tunrung Pakballe terdiri dari ganrang (gendang)puik-puik (serompet), dengkang (gong), dan katto-katto (kentongan).
b) Intsrumen yang dimainkan oleh Pa’royong terdiri dari anak baccing (berbentuk sudek yang saling dipukulkan), kancing (berbentuk kecer yang saling dipukulkan), parappasa/bulo sia-sia (terbuat dari bambu, kedua ujungnya dibentuk seperti sapu lidi, panjangnya kurang lebih 30 cm), sinto (terbuat dari daun lontar, kedua ujungnya diikat), pakkappe sumange’ (terbuat dari daun lontar), paku-paku pakballe (bentuknya menyerupai parang, pada ujungnya tergantung rantai besi pendek), ju’ju/me’long atau sumbu (benang yang dipilin dan pada ujungnya ada anyaman daun lontar berbentuk segi delapan yang menunjukkan delapan penjuru mata angin).

Tahap Persiapan
Seorang pa’royong tidak akan sembarang menerima permintaan untuk maroyong pada suatu hajatan(gaukang). Pa’royong yang diundang (nibuntuliakan melakukan penilaian kepantasan kepada orang yang memanggilnya. Biasanya penilaian berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Penilaian ini dilakukannya karena jika ia melakukan kesalahan maka dia bisa jatuh sakit.
Pelaksanaan royong disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu yang disebut dengan Appiwattu. Seperti dalam tahapan perkawinan, appassili dan abbubuk, prosesinya dilakukan pada pagi hari (paribbasa), sekitar pukul 09.00. Hal ini mengandung harapan agar kedua mempelai memperoleh kebahagian dan rezeki senantiasa bertambah ketika mereka menempuh hidup baru Sebelum pelantunan royong, baik pa’royong maupun pemain tunrung
pakballe melakukan persiapan, dengan ritualnya masing-masing. Prosesi pertama adalah apparuru yang merupakan ritual berupa pengasapan peralatan yang akan digunakan, baik peralatan royong maupun tunrung pakballe. Tujuannya agar jalannya upacara tidak terganggu dan berjalan dengan baik. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan mantra, yang disebut dengan apparenta gandrang. Prosesi ini untuk menyampaikan kepada Yang Maha Kuasa dan kepada para arwah leluhur bahwa upacara akan segera dimulai. Para pemain memohon perlindunganNya selama pelaksanaan upacara. Dalam prosesi ini juga harus disertai dengan jajakang.

Pementasan
Setelah prosesi apparuru, maka pementasan dapat segera dilaksanakan. Dahulu pemain royong berjumlah 3-7 orang, yang masing-masing memegang satu instrumen atau peralatan royong, namun yang menyanyi atau melantunkan royong hanya dua orang. Sekarang jumlah pa’royong sudah berkurang, hanya 2-3 pa’royong yang bisa dihadirkan dalam suatu upacara.
Pertama-tama, paroyong membunyikan ana baccing. sebagaimana yang disebutkan oleh Dg. Nurunganne dikana ana baccing…anne ngerangi royong…ana baccing…pamulai royong..tenna assambarang ri kelongang…(ini namanya ana backing, yang membuka/memulai royong tidak sembarang nyanyian yang dinyanyikan…) Pada dasarnya royong merupakan sebuah doa permohonan kepada penguasa alam Tuhan Yang Maha Kuasa akan keselamatan hidup di dunia. Menjauhkan roh-roh jahat yang akan mengganggu ketentraman hidup dan penghormatan terhadap leluhur. Namun syair yang dilafalkan oleh pa’royong (sang vokalis royong) kadang sulit dipahami oleh pendengar, setiap suku kata dilagukan dengan irama tertentu yang cukup lama. Pendengar hanya menikmati iramanya saja. Biasanya satu royong dinyanyikan semalam suntuk dan diikuti oleh bunyi-bunyian tradisional yang cukup indah didengar Pada masing-masing upacara tersebut, royong disajikan sebagai musik vokal dengan syarat dan aturan tersendiri. Tempat pertunjukan royong selalu berada di dua tempat, yaitu ri kale balla (ruang tengah rumah) dan ri bilik bungtinga (dalam kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Jika yang melakukan hajatan adalah kalangan bangsawan, maka biasanya dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga caddi (panggung kecil).
Menurut Basang (Solihing, 2004: 70), di dalam syair royong terkandung makna yang tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari, tetapi kalau diperhatikan secara mendalam pemaknaannya mengandung doa-doa keselamatan hidup. Masyarakat Makassar meyakini bahwa dengan senandung royong dapat memberikan kebahagian hidup di masa datang, seperti bagi pasangan pengantin baru. Pelantunan royong diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

Perempuan Pa’royong
Pada masa sebelum masyarakat etnik Makassar memeluk agama Islam, posisi pa’royong mendapat tempat dalam struktur pemerintahan kerajaan. Struktur kerajaan yang ada pada saat itu yaitu Arung/Karaeng atau To Matoa (raja atau yang dituakan), Gella (pelaksana tugas raja), sanro ( sebagai orang pintar). Pa’royong dianggap sebagai sanro yang mempunyai kemampuan dan selalu menjadi pusat dalam setiap pelaksanaan acara ritual adat. Keberadaan sanro atau pa’royong dalam struktur adat masyarakat Makassar bukanlah sekunder atau pelengkap, tetapi sebagai bagian dari penopang keutuhan negeri. Pa’royong dianggap sebagai ahli spiritual masyarakat lokal dan sebagai orang yang ahli mengobati, yang berarti memiliki kelebihan.

Kedudukan dan peran pa’royong yang umumnya perempuan, dalam setiap upacara ritual di komunitas masyarakat Makassar, menandakan adanya realitas perempuan yang memiliki posisi dalam aktifitas tradisi. Hal ini memperlihatkan pengalaman perempuan tradisi dalam suatu masyarakat ternyata telah diberi tempat, meski masyarakat menganut paham patriarki.
Dalam posisinya sebagai sanro, pa’royong mempunyai pengetahuan untuk menyiapkan peralatan dan bahan-bahan dalam pelaksanaan upacara adat. Sanrolah yang menentukan kapan waktunya upacara, material yang harus digunakan dalam upacara, dan memimpin upacara. Jadi sanro memegang kendali, mulai dari persiapan upacara, saat upacara berlangsung, hingga berakhirnya upacara.
Setelah Islam masuk, struktur adat bertambah dengan keberadaan guru (biasa juga disebut anrong guru yaitu orang yang melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan Islam). Namun peran sanro hampir tidak berbeda dengan peran yang sering dilakukan oleh guru, bahkan memiliki kesamaan, seperti dalam ungkapan makkaharui Sanroe, mattola balawi gurue (Sanro mencegah malapetaka dan guru bertugas menolak bala). Kedua peran itu sesungguhnya sama yaitu tugas dalam ritual-ritual tolak bala atau dalam hal memohon keselamatan kepada yang kuasa Meskipun demikian, sanro mempunyai posisi dan peran yang masih dominan. Jika sanro berperan dari persiapan sampai selesai, maka peran guru baru berfungsi pada saat acara telah dilaksanakan atau pada saat tinggal berdoa
saja. Guru (anrong guru) lebih banyak menangani hal-hal yang berkaitan dengan masalah syariatSanro juga memiliki peran yang signifikan dalam rapat-rapat adat, karena memiliki kedalaman batin dan ketajaman spiritualitas.
Kondisi ini menampilkan ruang negosiasi antara ajaran Islam dengan komunitas lokal. Sebuah ruang kontestasi ajaran Islam yang diwakili guru yang laki-laki dengan pemahaman ajaran Islamnya dan perempuan pa’royong dengan pemahaman budaya lokal. Kontestasi perempuan pada masa tersebut dalam menghadapi masyarakat yang patriarki membuat adanya keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Laki-laki tidak merasa lebih penting dari perempuan.
Walaupun masyarakat Makassar telah menganut Islam secara keseluruhan dan menerima ajaran Islam dari sang guru, tetapi wilayah spiritual yang banyak menyentuh ritus tradisi tetap melekat pada sanro (pa’royong). Jadi keberadaan pa’royong sebagai sanro di tengah masyarakat Islam Makassar telah berterima semenjak dulu.
Tradisi royong juga menjadi suatu penanda identitas bagi masyarakat Makassar. Pada dasarnya identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan, sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain. Identitas menyangkut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang atau komunitas berbeda dengan yang lainnya. Konsep identitas berkaitan erat dengan gagasan budaya. Kesenian merupakan bagian dari identitas diri sebuah etnik. Jelasnya bahwa tradisi royong hanya terdapat dalam masyarakat etnik Makassar dan telah menjadi identitas diri bagi orang Makassar, khususnya bagi kalangan bangsawan.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan royong juga mengalami perubahan dan mulai memudar. Tradisi royong cenderung ditinggalkan. Tradisi royong sudah jarang dilakukan. Hal ini dimungkinkan, karena banyak kalangan tidak lagi melaksanakan upacara-upacara daur hidup secara tradisional. Kalaupun dilaksanakan, pelaksanaannya dengan sederhana, dan tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa. Akibatnya secara perlahanlahan royong jarang dipentaskan. Terlebih lagi ada kesulitan untuk menemukan pelantun atau vokalis royong dalam suatu hajatan, karena semakin berkurang pa’royong. Pa’royong yang masih ada tersisa rata-rata telah berumur tua.


Dalam masyarakat Makassar (Kabupaten Gowa) ada beberapa jenis royongyaitu (a) cui (burung); (b) Daeng Camummu (nama orang); (c) kurrukurru jangang (panggilan terhadap ayam); dan (d) cui nilakborok (burung yang diistimewakan). Royong ini merupakan nyanyian yang biasa disajikan pada setiap upacara adat sunatan/khitanan, attompolok (aqiqah). Syair-syairnya mengandung doa keselamatan dan cerita yang berkaitan dengan makna kehidupan sehari-hari. Fungsinya adalah agar orang yang diroyongkan berumur panjang dan kelak mendapat kehidupan yang baik.

Beberapa Syair Royong

Cui
Cuinamo, cuinamo cui ri poeng pangkenna, ri poeng pangke loena manrikbak,
sikayu-kayu mene situntung-tuntungang, ri passimbangenna sero, ri allakna
pakbineang, angkangkang bunduk pokena, assaraung donpak-dompak attakkang
bulo silasak napaale ri pakballe nanilurumo ri balo I balo mate nibuno mate
nitattak kallonna nanipokemo battanna, namateknekmo pakmaik. 
Cui! battu maeko mene anrikbakangi lolonnu, ilena gulubattunnu angkangkang
bunduk pokenu. Mangagaang ri Gowa tannga, numalo ri Tinggi mae numasengka
ri Bissei butta ri kabassungia, nanitayomo ri sombaya nikiokmi ri ratuia.
Tulusukmami mantama ri Gowa ri moncong-moncong. Anna mania ri paladang
tunisomba. Anna mantana ri jajareng ballak karaeng. Anna mangerang pakballe.
Ibale nakilo lonna ilena gulukbattanna nasikuntumo numera, teamo
makjeknekmata namateknemo pakmai.
Pumbantinottok! siapa romang nusosok?, ruaji romang kusosok, nasakrak dale,
nakunggappa ruambatu, ruang kayu, sekre pakballe, sekre pakkape sumanga.
Inai ana, lanukape sumangakna? Anakna Gowa, jekne kalenna lakiyung. Kurru
ke jangang, ri tujunnako idaeng. Tottok garrinna, balekbeangi sawanna,
nanurikbakang cilaka tamatuanna.
Bangkennu, kondo buleng! kuntu laiya lolo, bonggannu, kondo! kontui pappepek
banning. Ingkonnu, kondo! kontui buying nilappak. Dongkokmu, kondo!
Kaknyiknu kondo! kontui kipasak gading. Dadanu kondo buleng! Kuntui lappara
gading. Kallonu kondo! kontui sipik bulaeng. Lilanu kondo! kontui kamanyang
bauk. Amperengannu, kondo! Kontui pammoneang nisumpak. Rapponnu kondo!
kontui subang ri toil. Tainnu, kondo buleng! kontui pakleok basa
Daeng cammumuk! Daeng Cammumuk! kakdoklalomi kakdoknu poro sikakdek,
poro ia ri bawanu! palemek-lemek namandung rikallonnu; Nasikontumo masauk,
nateyamo masimpung, namateknekmo pakmaik.

Terjemahan :
Cuinyalah, cuinyalah cui di pangkal dahannya, di pangkal dahan besarnya,
terbang sendirian, terbang kemari tak hinggap-hinggap di perbatasan Sero, di
antara Pakbineang. Dia memegang tombak perangnya, bertudung kecil-kecil,
bertombak bambu seruas, dipakai mengambil obat. Diseranglah oleh si Belang. Si
Belang mati terbunuh, mati ditetak lehernya. Dibelah perutnya, diambillah
darahnya, dipakai memanterai obat. Obat penghias remaja, obat inti perutnya.
Maka semuanya menangis, tak mau lagi menetes air matanya, maka senanglah
hatinya.
Cui datanglah kemari, menerbangkan mudamu. Obat inti perutmu, memegang
tombak perangmu, melalui Gowa Tengah, berjalan di TinggiMae, Kau singgah di
Bisei, tanah yang dimuliakan. Dipanggillah oleh Raja, diundanglah oleh yang
bertuan. Maka teruslah masuk di Gowa, di Moncong-moncong. Dia naiklah ke
balai kerajaan, di masuklah ke kedudukan istana, dia membawa obat, obat
penghias remaja, obat inti perutnya. Maka semua menangis, tak mau lagi menetes
air matanya, maka senanglah hatinya (bahagialah)
Hai burung Pelatuk! Berapa hutan engkau masuki? Hanya dua hutan kumasuki,
sampai terbenam matahari. Aku mendapat dua buah, dua ekor satu obat, satu
pelambai semangat. Anak siapa akan kulambai semangatnya? Anaknya Gowa, air
bibitnya Lakiung. Kurr ayam, kearah tempatnyalah I Daeng. Cotok penyakitnya,
hempaskan sawannya. Dan terbangkan celaka dan sialnya.
Kakimu wahai bangau putih! Seperti haliah muda. Pahamu wahai Bangau! Seperti
pemukul benang. Ekormu wahai Bangau! Seperti kertas dilipat. Belakangmu
wahai Bangau! Seperti katak Jawa. Sayapmu wahai Bangau! Seperti kipas gading.
Dadamu wahai bangau putih! Seperti mangkuk kecil trbuat dari gading. Lehermu
wahai Bangau putih! Seperti sedok minyak. Matamu wahai Bangau! Seperti intan
berkedip. Paruhmu wahai Bangau, seperti sepit Emas. Lidahmu wahai Bangau!
Seperti isap-isapan. Perutmu wahai Bangau, seperti gelang dibentuk. Hatimu
wahai Bangau! Seperti kemenyan harum. Perut besarmu wahai Bangau! Seperti
tempat adonan logam. Buah pinggangmu wahai bangau! Seperti subang di telinga.
Baumu wahai Bangau putih! Seperti kemenyan harum.
Daeng Cammummu! Daeng Cammummu! Makanlah makananmu! Biar sedikit,
biar yang ada di mulutmu. Perlahan-lahan supaya turun di lehermu. Makanya
semua nikmat tak mau lagi susah, dan bahagialah. (Djirong, 1999: 1-83)
(Tradisi Royong) Andi Sulkarnaen, FIB UI 2010 Universitas Indonesia

by Facebook Comment

Selasa, 20 Agustus 2013

PERJANJIAN BUNGAYYA


Perjanjian Bungayya adalah sebuah perjanjian gencatan Senjata antara pihak Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar) bersama VOC Belanda pada tanggal 18 November 1667 sebagai upaya untuk mengakhiri Perang Makassar. perjanjian Bungayya ini adalah awal dari meredupnya eksistensi Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar) di Nusantara sekaligus sebagai awal dari Berkembangnya eksistensi VOC Belanda di Nusantara. Perjanjian ini membuat banyak Pangeran -Pangeran Makassar yang memutuskan Hijrah meninggalkan Tanah airnya karena tidak sepakat dengan isi perjanjian yang mereka anggap sangat merugikan Posisi Kesultanan Gowa-Tallo.

Isi perjanjian

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau di masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
    Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
  11. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
  17. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  18. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La TĂ©nribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
  27. Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
  28. Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667
by Facebook Comment