AdSense

Minggu, 04 Mei 2014

Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha


Dia adalah gurunya kaum laki-laki, seorang wanita yang suka kebenaran, putri dari seorang laki-laki yang suka kebenaran, yaitu Khalifah Abu Bakar dari suku Quraisy At-Taimiyyah di Makkah, ibunda kaum mukmin, istri pemimpin seluruh manusia, istri Nabi yang paling dicintai, sekaligus putri dari laki-laki yang paling dicintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, bahwa ‘Amr bin ‘AshRodhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Siapakah orang yang paling engkau cintai, wahai Rasulullah?" Rasul menjawab: '''Aisyah.'' 'Amr bertanya lagi: "Kalau laki-­laki?" Rasul menjawab: "Ayahnya.
Selain itu Aisyah adalah wanita yang dibersihkan namanya langsung dari atas langit ketujuh. Dia juga adalah wanita yang telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa seorang wanita memungkinkan untuk lebih pandai daripada kaum laki-laki dalam bidang politik atau strategi perang.

Wanita ini bukan lulusan perguruan tinggi dan juga tidak pernah belajar dari para orientalis dan dunia Barat. Ia adalah murid dan alumni madrasah kenabian dan madrasah iman. Sejak kecil ia sudah diasuh oleh seorang yang paling utama, yaitu ayahnya, Abu Bakar. Ketika menginjak dewasa ia diasuh oleh seorang nabi dan guru umat manusia, yaitu suaminya sendiri. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, terkumpullah dalam dirinya ilmu, keutamaan, dan keterangan-keterangan yang menjadi referensi manusia sampai saat ini. Teks hadits-hadits yang diriwayatkannya selalu menjadi bahan kajian di fakultas­-fakultas sastra, sebagai kalimat yang begitu tinggi nilai sastra­nya. Ucapan dan fatwanya selalu menjadi bahan kajian di fakultas-fakultas agama, sedang tindakan-tindakannya menjadi materi penting bagi setiap pengajar mata pelajaran/mata kuliah sejarah bangsa Arab dan Islam.
Pernikahan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengannya merupakan perintah langsung dari Allah 'Azza wa jalla setelah wafatnya Khadijah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari 'Aisyah Rodhiallahu ‘anha, dia berkata: "RasulullahSholallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: 'Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku tiga hari berturut-turut (sebelum aku menikahimu). Ada malaikat yang datang kepadaku dengan membawa gambarmu yang ditutup dengan secarik kain sutera. Malaikat itu berkata: 'Ini adalah istrimu'. Aku pun lalu membuka kain yang menutupi wajahmu. Ketika ternyata wanita tersebut adalah engkau ('Aisyah), aku lalu berkata: 'Jika mimpi ini benar dari Allah, kelak pasti akan menjadi kenyataan.''’

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menikahi 'Aisyah dan Saudah pada waktu yang bersamaan. Hanya saja pada saat itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung hidup serumah dengan 'Aisyah. Setelah kurang lebih tiga tahun hidup serumah dengan Saudah, tepatnya pada bulan Syawal setelah perang Badar, barulah beliau hidup serumah dengan 'Aisyah. 'Aisyah menempati salah satu kamar yang terletak di komplek Masjid Nabawi. yang terbuat dari batu bata dan beratapkan pelepah kurma. Alas tidurnya hanyalah kulit hewan yang diisi rumput kering; alas duduknya berupa tikar; sedang tirai kamarnya terbuat dari bulu hewan. Di rumah yang sederhana itulah 'Aisyah memulai kehidupan sebagai istri yang kelak akan menjadi perbincangan dalam sejarah.

Pernikahan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang utama dan penting. Setelah menikah, seorang wanita akan menjadi istri dan selanjutnya akan menjadi seorang ibu. Kekayaan dunia sebanyak apa pun, kemuliaan setinggi awan, kepandaian yang tak tertandingi, dan jabatan yang begitu tinggi, sekali-kali tidak akan ada artinya bagi seorang wanita jika tidak menikah dan tidak mempunyai suami, sebab tidaklah mungkin bahagia sese­orang yang berpaling dari fitrahnya.

Dalam kehidupan berumah tangga, 'Aisyah merupakan guru bagi setiap wanita di dunia sepanjang masa. Ia adalah sebaik-baik istri dalam bersikap ramah kepada suami, menghibur hatinya, dan menghilangkan derita suami yang berasal dari luar rumah, baik yang disebabkan karena pahitnya kehidupan maupun karena rintangan dan hambatan yarig ditemui ketika menjalankan tugas agama.

'Aisyah adalah seorang istri yang paling berjiwa mulia, dermawan, dan sabar dalam mengarungi kehidupan bersama Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam yang serba kekurangan, hingga pernah dalam jangka waktu yang lama di dapurnya tidak terlihat adanya api untuk pemanggangan roti atau keperluan masak lainnya. Selama itu mereka hanya makan kurma dan minum air putih.

Ketika kaum muslim telah menguasai berbagai pelosok negeri dan kekayaan datang melimpah, 'Aisyah pernah diberi uang seratus ribu dirham. Uang itu langsung ia bagikan kepada orang-orang hingga tak tersisa sekeping pun di tangannya, padahal pada waktu itu di rumahnya tidak ada apa-apa dan saat itu ia sedang berpuasa. Salah seorang pelayannya berkata: "Alangkah baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meski­pun satu dirham saja untuk berbuka puasa!" Ia menjawab: "Seandainya engkau katakan hal itu dari tadi, niscaya aku melakukannya.

Dia adalah wanita yang tidak disengsarakan oleh kemis­kinan dan tidak dilalaikan oleh kekayaan. Ia selalu menjaga kemuliaan dirinya, sehingga dunia dalam pandangannya adalah rendah nilainya. Datang dan perginya dunia tidaklah dihiraukannya.
Dia adalah sebaik-baik istri yang amat memperhatikan dan memanfaatkan pertemuan langsung dengan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, sehingga dia menguasai berbagai ilmu dan memiliki kefasihan berbicara yang menjadikan dirinya sebagai guru para shahabat dan sebagai rujukan untuk memahami Hadits, sunnah, dan fiqih. Az-Zuhri berkata: "Seandainya ilmu semua wanita disatu­kan, lalu dibandingkan dengan ilmu 'Aisyah, tentulah ilmu 'Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka."1

Hisyam bin 'Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: "Sungguh aku telah banyak belajar dari 'Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada 'Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab, nasab, hukum, serta pengobatan. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai bibi, dari manakah engkau mengetahui ilmu pengobatan?' 'Aisyah menjawab: 'Aku sakit, lalu aku diobati dengan sesuatu; ada orang lain sakit juga diobati dengan sesuatu; dan aku juga mendengar orang banyak, sebagian mereka mengobati sebagian yang lain, sehingga aku mengetahui dan meng­hafalnya. "'2

Dalam riwayat lain dari A'masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, Abud Dhuha berkata: "Kami pernah bertanya kepada Masruq: 'Apakah 'Aisyah juga menguasai ilmu faraidh?' Dia menjawab: 'Demi Allah, aku pernah melihat para shahabat Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam yang senior biasa bertanya kepada 'Aisyah tentang faraidh. "'3

Selain memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan, 'Aisyah juga memiliki kekurangan, yakni memiliki sifat gampang cemburu. Bahkan dia termasuk istri Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam yang paling besar rasa cemburunya. Rasa cemburu memang termasuk sifat pembawaan seorang wanita. Namun demikian, perasaan cemburu yang ada pada 'Aisyah masih berada dalam batas yang wajar dan selalu mendapat bimbingan dari Nabi, sehingga tidak sampai melampaui batas dan tidak sampai menyakiti istri Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam yang lain.

Di antara kejadian paling menggelisahkan yang pernah menimpa 'Aisyah adalah tuduhan keji yang terkenal dengan sebutan Haditsul ifki (berita bohong-Insyaa Allah akan dibahas diKIS.com di pembahasan yang lain) yang dituduhkan kepadanya, padahal diri 'Aisyah sangat jauh dengan apa yang dituduhkan itu. Akhirnya, turunlah ayat Al-Qur'an yang menerangkan kesucian dirinya. Cobaan yang menimpa wanita yang amat utama ini merupakan pelajaran berharga bagi setiap wanita, karena tidak ada wanita di dunia ini yang bebas dari tuduhan buruk.

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sakit sekembalinya dari haji Wada' dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, setelah dirasa selesai dalam menunaikan amanat dan menyampaikan risalah, beliau lalu berkeliling kepada istri-istrinya sebagaimana biasa. Pada saat membagi jatah giliran kepada istri-istrinya itu beliau selalu bertanya: "Di mana saya besok? Di mana saya lusa?" Hal ini mengisyaratkan bahwa beliau ingin segera sampai pada hari giliran 'Aisyah. Para istri Nabi yang lain pun bisa mengerti hal itu dan merelakan Nabi untuk tinggal di tempat istri yang mana yang beliau sukai selama sakit, sehingga mereka semuanya berkata: "Ya Rasulullah, kami rela memberikan jatah giliran, kami kepada 'Aisyah.

Kekasih Allah itu pun pindah ke rumah istri tercintanya. Di sana 'Aisyah dengan setia menjaga dan merawat beliau. Bahkan saking cintanya, sakit yang diderita Nabi itu rela 'Aisyah tebus dengan dirinya kalau memang hal itu memungkinkan. 'Aisyah berkata: "Aku rela menjadikan diriku, ayahku, dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah." Tak lama kemudian Rasul pun wafat di atas pangkuan 'Aisyah.

'Aisyah melukiskan detik-detik terakhir dari kehidupan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut: "Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, dan beliau bersandar di dadaku. Sesaat sebelum beliau wafat, 'Abdur Rahman bin Abu Bakar (saudaraku) datang menemuiku sambil membawa siwak, kemudian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam melihat siwak tersebut, sehingga aku mengira bahwa beliau menginginkannya. Siwak itu pun aku minta, lalu kukunyah (supaya halus), kukebutkan, dan kubereskan sebaik-baiknya sehingga siap dipakai. Selanjutnya, siwak itu kuberikan kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersiwak dengan sebaik-baiknya, sehingga belum pernah aku melihat cara ber­siwak beliau sebaik itu. Setelah itu beliau bermaksud memberi­kannya kembali kepadaku, namun tangan beliau lemas. Aku pun mendo'akan beliau dengan do'a yang biasa diucapkan Jibril untuk beliau dan yang selalu beliau baca bila beliau sedang sakit. (Alloohumma robban naasi... dst.) Akan tetapi, saat itu beliau tidak membaca do'a tersebut, melainkan beliau mengarahkan pandangannya ke atas, lalu membaca do'a: 'Arrofiiqol a'laa (Ya Allah, kumpulkanlah aku di surga bersama mereka yang derajatnya paling tinggi: para nabi, shiddiqin, syuhada', dan shalihin). Segala puji bagi Allah yang telah menyatukan air liurku dengan air liur beliau pada penghabisan hari beliau di dunia.5

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di kamar 'Aisyah. tepat di tempat beliau meninggal. Sepeninggal Rasulullah, 'Aisyah banyak menghabiskan waktunya untuk memberikan ta'lim. baik kepada kaum laki-laki maupun wanita (di rumahnya) dan banyak berperan serta dalam mengukir sejarah Islam sampai wafatnya. 'Aisyah wafat pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah pada usia 66 tahun.6

Para generasi sepeninggal 'Aisyah selalu mengkaji dan meneliti detail kehidupannya sejak usia 6 tahun, dengan harapan bisa mengambil hikmah dan ibrah dari model tarbiyyah (pendidikan) yang telah membentuk pribadi beliau menjadi figur tunggal yang belum ada duanya sejak empat belas abad silam.

Tuduhan Berzina


Tatkala bendera Islam telah berkibar tinggi dan kejayaan Islam sudah tampak, serta kekuatan kekufuran hancur, muncullah fenomena di tengah-tengah barisan umat Islam musuh-musuh bebuyutan yang licik, yang menampakkan Islam di luarnya hanya demi menjaga darah dan harta, namun mereka menyembunyikan kekufuran dan gejolak kedengkian, serta tipu daya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia beranggapan bahwasanya Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم telah merebut kekuasaan dan kedudukannya, tidak lain karena kaumnya sebenarnya sudah siap untuk memberikan kekuasaan dan kerajaan di Madinah padanya (Ubay), sebelum sampainya ajaran Islam dan masuknya kaum Muslimin di kota tersebut.
Kaum munafik pun membulatkan tekad untuk merongrong kaum Muslimin, dengan menjalankan aksinya, baik sendiri-sendiri maupun bergabung bersama kelompok lainnya. Bahkan, kebusukan dan kejahatan mereka sampai pada titik ikut serta keluar dan berperang bersama (membantu) Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم terutama pada peperangan yang diperkirakan akan mendatangkan kemenangan dan mendapatkan harta rampasan perang, sehingga mereka bisa pulang dengan membawa harta kesenangan dunia yang fana.
Kaum ini juga meyakinkan kaum Muslimin bahwasanya mereka berada di satu barisan bersama umat Islam, padahal pada saat yang sama, mereka mencari-cari kesempatan untuk menyebarkan racun keraguan dalam hati dan menanam bibit perpecahan di antara kaum Muslimin. Meskipun semua itu harus ditempuh dengan jalan menghina dan melecehkan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم pasti mereka akan tetap melakukannya tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, kaum munafik mendapatkan kesempatan itu tatkala mereka keluar bersama Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم untuk memerangi Bani Mushthaliq. Kaum ini pun memperoleh peluang emas untuk mengabulkan keinginan nafsu keji mereka.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “tuduhan dusta” (haaditsul ifki), sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah peperangan, dan sirah. Peristiwa ini sangat masyhur disebabkan turunnya beberapa ayat terkait dengan masalah tersebut.
Secara ringkas, kronologis kejadian di atas adalah sebagaimana berikut. Suatu ketika, rombongan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم meninggalkan Ummul Mukminin ‘Aisyah رضي الله عنها (tanpa sengaja) karena beliau sedang sibuk mencari kalungnya yang hilang saat sedang buang hajat. Setelah itu, ‘Aisyah رضي الله عنها kembali dan menunggu di tempat sebelumnya rombongannya berada, hingga datanglah Shafwan bin Mu’athil sebab dia memang berada di barisan belakang rombongan. Ia pun melihat dan mengenali wajah ‘Aisyah رضي الله عنها karena pernah melihat beliau sebelum turunnya ayat hijab. Shafwan lalu menundukkan unta untuk ‘Aisyah رضي الله عنها dan menuntun keduanya dengan cepat agar dapat menyusul rombongan. Di sisi lain, rombongan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم panik karena kehilangan ‘Aisyah رضي الله عنها hingga pagi berikutnya.
Tatkala kaum Muslimin sudah agak tenang, tiba-tiba muncullah Shafwan menuntun unta yang ditunggangi Ummul Mukminin ‘Aisyah. Menyaksikan hal tersebut, orang-orang munafik pun menyebarkan desas-desus sehingga orang-orang yang hatinya berpenyakit turut menyebarkannya. Fitnah ini semakin memanas hingga sanggup menjerat (menyesatkan) sebagian umat Islam.
Keadaan semakin parah karena wahyu tidak kunjung turun, padahal denganya akan binasa orang yang binasa melalui bukti jelas dan akan hidup (juga) orang yang hidup dengan bukti yang nyata. Benar , orang-orang munafik berhasil menjalankan aksinya saat itu, senjata mereka benar-benar beracun, dan mereka yakin bahwa tuduhan itu akan berujung pada kebinasaan ‘Aisyah.
Akan tetapi, Allah berkehendak lain dan menyelamatkan umat Islam, terbukti dengan diturunkannya wahyu dari-Nya, Yang Maha mengetahui semua rahasia. Alhasil, terbebaslah ‘Aisyah رضي الله عنها ash-Shiddiqah binti Abu Bakar ash-Siddiq melalui ayat yang diturunkan dari atas langit ketujuh, yang akan terus dibaca oleh umat Islam di masjid-masjid mereka, sampai Allah mewarisi bumi dengan segala isinya.
Demikian gambaran singkat peristiwa tuduhan keji itu. Para ulama dan cendekiawan Islam berlomba-lomba membantah tuduhan musuh-musuh Islam ini dengan dalil naqli dan ‘aqli. Semua kitab sejarah, baik yang ditulis sekarang atau sebelumnya, penuh dengan bantahan terhadap tuduhan tersebut. Penulisnyapun berharap mendapatkan pahala dari sisi Allah karena telah membela kehormatan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم dan isteri-isteri beliau, Ummahatul Mukminin yang suci.
Namun, bukan di sini tempatnya untuk memaparkan bantahan para ulama tersebut. Adapun dalil pertama dan terkuat bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir adalah turunnya wahyu yang membebaskan ‘Aisyah  ash-Shiddiqah رضي الله عنها. Cukuplah bagi kaum Muslimin dengan turunnya ayat ini, sebagai bantahan terhadap tuduhan dusta itu.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya dari perbuatan tersebut atau menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan tuduhan orang-orang munafik dahulu, sebagaimana dilakukan orang-orang Syi’ah Rafidhah pada zaman sekarang, adalah kafir. Ia telah mendustakan apa yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, yang secara tegas mengabarkan pembebasan dan kesucian ‘Aisyah رضي الله عنها dari semua tuduhan tersebut. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa orang semacam ini wajib dibunuh.
Saya akan menurunkan beberapa dalil atas hal ini:
1.      Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 23): “Seluruh ulama sepakat bahwa orang yang mencela dan menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan tuduhan yang disebutkan dalam ayat ini, telah kafir dan menentang al-Qur’an.”
2.      Imam Ibnul Qayyim menyebutkan kesepakatan umat Islam atas kafirnya orang yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berbuat zina: “’Aisyah رضي الله عنها adalah orang yang paling dicintai Rasulullah. Telah turun pula pembebasannya dari langit. Umat Islam pun telah sepakat atas kekufuran orang yang menuduh beliau berbuat zina.”
3.      Imam az-Zarkasyi berkata: “Siapa saja yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berbuat zina adalah kafir, karena al-Qur’an dengan sangat jelas, telah membebaskannya.”
4.      Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berzina harus dibunuh karena dia telah menyalahi al-Qur’an. Sebab, siapa yang menyalahi al-Qur’an pantas dibunuh karena berani mendustakannya.
5.      Imam al-Qurthubi berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya …” (QS. An-Nuur: 17): “Maksudnya ialah menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها. Perbuatan yang demikian bisa menyakiti Rasulullah dari segi kehormatan diri dan keluarganya, bahkan orang yang melakukannya akan menjadi kafir.
Hisyam bin ‘Amr berkata: “Aku mendengar Imam Malik berpendapat bahwa siapa saja yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar harus diberi pelajaran, sedangkan siapa saja yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها harus dibunuh, karena Allah berfirman yang artinya:
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.” (QS. An-Nuur: 17)
Jadi, siapa yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها berarti sama saja telah menentang al-Qur’an, sedangkan orang yang menentang al-Qur’an harus dibunuh.”
6.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengenai orang yang mencela para isteri Rasulullah, al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat: ‘Siapa saya yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya darinya, telah kafir, tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Lebih dari seorang ulama yang menegaskan adanya ijma’ ulama dalam hal ini. Lebih dari seorang imam pula yang secara jelas menetapkan hukum ini.”
7.      Ibnu Abi Musa berkata: “Barang siapa yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan sesuatu yang beliau telah dibebaskan Allah darinya, maka dia telah keluar dari agama. Maka tidak sah pernikahannya dengan wanita Muslimah.”
 Ucapan yang dikutip dari para ulama ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan pernyataan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tafsir. Semuanya membantah orang yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dari kalangan Rafidhah dan para pengikut mereka. Para ulama juga telah menetapkan bahwa orang yang melakukannya telah kafir karena mendustakan apa yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya yang mulia, yaitu tentang terbebaskan dan tersucikannya ‘Aisyah.
Tersucikannya ‘Aisyah رضي الله عنها dari tuduhan tersebut akan dipahami oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah yang dipahami oleh sahabat yang mulia, Abu Ayyub al-Anshari, tatkala isterinya, Ummu Ayyub, bertanya kepadanya: “Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau mendengar apa yang sedang diperbincangkan orang-orang tentang ‘Aisyah?” Beliau menjawab: “Ya. Hal itu hanya dusta belaka. Apakah kamu juga melakukannya, hai Ummu Ayyub?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah. Aku tidak melakukannya.” Abu Ayyub berkata: ‘Demi Allah, ‘Aisyah lebih baik daripada kamu.’”
Semoga Allah meridhai ‘Aisyah dan Ummul Mukminin lainnya serta mengumpulkan kita ke dalam golongan mereka di bawah bendera Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam.
(Disadur dari Terjemahan Buku Silsilah Ummahatul Mu’minin Wad Da’wah Ila Allah, Dr. Khalid bin Muhammad, Penerbit Pustaka Imam Syafii Jakarta)

 1) Baca Al-Mustadrak IV/11, pembahasan tentang Pengetahuan para shahabat, oleh Al-Hakim; dan Majma'uz Zawaa'id IX/245 oleh Al-Haitsami. Al-Haitsami berkata: "Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan rawi yang tepercaya."
2) Baca Hilyatul Auliya' II/49. Riwayat ini memiliki rawi yang tsiqqah.
3) Hadits ini diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan II/342, Ibnu Sa'd dalam At­-Thabaqat VIII/66, dan Hakim dalam Al-Mustadrak IV/11.
4) Baca Shahih Muslim, kitab Keutamaan Para Shahabat, bab Keutamaan AisyahRodhiallahu ‘anha.
5) Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (Al-Musnad V1/48) dan Hakim (Al-Mustadrak1V/7). Hakim berkata: "Hadits ini shahih berdasarkan syarat yang ditetapkan Bukhari dan Muslim." Adz-Dzahabi juga sepakat atas keshahihan Hadits ini.
6) Baca Al-Istii'aab IV/1885 dan Taariikhut Thabari (Peristiwa-peristiwa pada tahun 58 Hijriyah).



Artikel Terkait:

by Facebook Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar