Siti Hapipa juga meminta agar, jika memungkinkan, ia dipulangkan oleh kompeni ke Batavia, sebab pemerintahan kolonial Inggris yang berkuasa di Kolombo saat itu setiap saat (sejak 1796) bisa menyita harta kemudian memenjarakannya karena utang yang membengkak. Tunjangan yang hanya 50 riyal per bulan tidak mencukupi kebutuhan keluarga besar dengan dua belas anak dan cucu-cucu, sehingga ia harus terus mengutang.
Siti Hapipa adalah isteri Sultan Fakhruddin Abdul Khair alias Amas Madina, Batara Gowa—sultan Gowa ke-26 yang diasingkan VOC pada April 1767. Sebagai raja buangan ia tidak hanya mendapatkan tunjangan keluarga, sebagaimana para bangsawan Nusantara lain yang dibuang ke Sri Lanka. Selain itu, ia dan terutama putra-putranya terlibat dalam pusaran politik dan perang kolonial di Ceylon. Lima atau enam orang putranya, jika merujuk pada dua sumber, gugur dalam dua perang: Perang Polygar di selatan India 1800 dan Perang Anglo-Kandyian di Sri Lanka 1803. Empat sebagai kapten pasukan di pihak Inggris, seorang membelot pemimpin pasukan di pihak kesultanan Kandy—sangat mungkin mereka semua sudah mendaftar ke pasukan ‘Melayu’ yang dibentuk pemerintah kolonial VOC pada tahun 1782. Akhirnya, fakta bahwa ia meninggal ketika tengah berkunjung di rumah Gubernur VOC di Kolombo menunjukkan kedekatannya dengan pemerintahan Belanda.
Surat ini menunjukkan dengan cukup kukuh bahwa sang Batara Gowa tidak pernah pulang kampung.
(Sumber : Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda)
Surat Sitti Hapipa kepada Gubernur Jendral di Kolombo. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Kodenya: Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/ no. 526].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar