Asal usul royong dapat ditelusuri melalui sejarah kuno
yang digali dari mitos asal usul raja-raja yang memerintah di Sulawesi Selatan. Menurut
Prof. Dr. H.A Kadir Manyambeang, dalam Solihing (2004: xiii), setelah periode
Galigo, selama pitu pariameng (tujuh masa) aleq lino (pertiwi) mengalami
kekosongan pemerintahan yang berakibat timbulnya pertikaian antar kelompok masyarakat yang disebut dengan sianre bale (chaos) dan sangat sulit
diatasi oleh para pemimpin kaum. Kemudian dari peristiwa ini muncul Tomanurung (orang
yang turun dari langit). Hampir setiap daerah di Sulawesi Selatan memiliki
cerita tentang Tomanurung, tak terkecuali Gowa.
Tomanurung di Gowa bernama Putri Tamalate, seorang perempuan yang turun dari langit beserta dua dayang-dayang, lengkap dengan gaukang. Dayangdayang inilah yang menyanyikan royong seiring dengan turunnya
Putri Tamalate ke peretiwi (dunia). Nyanyian royong ini,
didengar oleh penduduk Gallarang Mangasa, yang kemudian melaporkannya kepada para pemimpin kaum (Batesalapang dan Paccallayya). Batesalapang dan Paccallayya kemudian pergi menemui Tomanurung. Selanjutnya Tomanurung kawin
dengan Karaeng Bayo (raja Gowa pertama). Dalam perkawinan tersebut, royong kembali dinyanyikan oleh kedua dayang-dayang Putri Tamalate. Lalu ketika anak pasangan Karaeng Bayo dengan Putri Tamalate, yang bernama Karaeng
Tumasalangga Baraya lahir, royong kembali
dinyanyikan oleh dayang-dayang. Setelah itu dayang-dayang pun menghilang. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa royong berasal dari langit dan turun ke
bumi bersama dengan datangnya Tomanurung di Gowa. Tradisi ini kemudian
dilakukan dalam setiap upacara adat atau ritus orang Makassar, terutama dalam siklus kehidupan manusia. Johra Daeng Pajja (Solihing,2004:68) mengungkapkan asal-usul royong berdasarkan informasi dari neneknya :
“…royong itu bersamaan hadirnya Tumanurunga di Gowa. Sebab
sewaktu
anaknya sakit ia menangis terus menerus, setelah nyanyian syair royong
ditembangkan, maka ia berhenti menangis, seketika itu pula penyakitnya
sembuh.”
Dari cerita yang diperoleh dari Johra Daeng Pajja tersebut, kemudian masyarakat Makassar meyakini kalau senandung royong mempunyai
kekuatan untuk menyembuhkan. Pengalaman-pengalaman tersebut lalu diturunkan ke generasi berikutnya.
Royong dalam Masyarakat
Makassar
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pementasan royong biasanya dilakukan dalam upacara-upacara adat dan upacara daur hidup (life cycle
rites). Ada beberapa upacara di mana royong biasanya ditampilkan.
Namun berikut ini hanya akan dipaparkan upacara A’ccera Kalompoang dan acara
perkawinan Makassar, di mana terdapat tahapan yang di dalamnya royong ditampilkan,
yaitu;
Upacara A’ccera Kalompoang
Upacara A’ccera Kalompoang adalah upacara ritual dalam
lingkungan kerajaan Gowa yang bertujuan mencuci benda-benda pusaka kerajaan. Biasanya dilaksanakan pada bulan Zulhajji, bertepatan dengan hari raya Idul Adha.
Upacara ini terdiri dari beberapa rangkaian yaitu, antara lain Alleka’
Je'ne’, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang. Seperti yang diungkapkan
oleh Andi Maknum Bau Ta’yang, seorang bangsawan Gowa yang juga menjabat sebagai kepala museum Balla Lompoa;
…ambil air (Alleka’ Je'ne’),
dia (pa’royong) ikut sambil
menyanyi...itu
hari pertama, setelah ambil air, disembelimi tuh kerbau (Ammolong Tedong), dia
ikut royong juga,… kemudian pa’royong kembali naik menyanyi toh di Balla
Lompoa, ma’royong…nanti malamnya acara inti yaitu Appidalleki…menyanyimenyanyi
mi itu pa’royong…sampai selesai. Begitu selesai makanmi
bersama…Ada juga barsanjinya…besok na Alangiri Kalompoang…
Rangkaian pertama adalah upacara Alleka’ Je’ne pengertiannya menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah yang akan digunakan dalam pencucian benda-benda pusaka. Pengambilan air bertuah ini diiringi tunrung pakballe dan royong. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat matahari
sekitar sitonrang bulo (setinggi bambu). Kegiatan diawali dengan doa kepada
Yang Maha Kuasa dan bersalawat kepada Rasulullah.
Rangkaian selanjutnya adalah Ammolongan Tedong yaitu
penyembelihan hewan kurban, yang bermakna penangkal dan penolak bala. Dilaksanakan pada saat allabbang lino (matahari sedang pada titik
kulminasi). Kegiatan ini diawali dengan appasili tedong dan apparurui, perlakuan
khusus dengan mengarak hewan kurban mengitari istana sebanyak tiga kali sebelum disembelih.
Penyembelihan ini bermakna sebagai penangkal dan penolak bala yang berkait dengan darah.
Prosesi ini juga diiringi dengan tunrung pakballe dan royong. Pada malam harinya (9 Zulhijjah), setelah shalat Isya, diadakanlah upacara Appidalleki, yang berarti persembahan sesajen kepada leluhur yang
diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.Rangkaian ini diiringi oleh Royong. Setelah
prosesi selesai dilanjutkan dengan makan bersama. Keesokan harinya (10 Zulhijjah), setelah shalat Idul Adha, dilaksanakanlah assosoro dan annimbang kalompoang.
Kegiatan ini ditandai dengan pembersihan dan pencucian benda-benda pusaka kerajaan. Kemudian menimbang bobot benda-benda tersebut. Assosoro artinya
meluluhkan segala noda dan noktah, dalam hal ini sifat-sifat buruk manusia, sedangkan allangiri artinya menanamkan keyakinan dan kesucian. Annimbang pertanda
analisa dan evaluasi serta penentuan tingkat kesejahteraan masyarakat pada tahun mendatang.
Upacara Perkawinan
(upacara daur hidup masyarakat Makassar), dalam perkawinan, terdapat beberapa rangkaian, di mana
pementasan royong dilakukan. Di mulai saat Passili, untuk memohon kepada
yang kuasa agar dijauhkan dari marabahaya. Lalu kemudian dilanjutkan dengan A’bubbu. Sambil
memotong beberapa helai rambut halus yang ada pada ubun-ubun, diiringi
dengan bunyi-bunyi tradisi (royong). Selanjutnya korontigi, prosesi
menyucikan diri semalam sebelum akad nikah keesokan harinya. Korontigi dimeriahkan
oleh royong beserta tunrung pakballe, adakalahnya dipadukan dengan
barsanji/rateq.
Pementasan Royong
Sebagai sebuah tradisi yang hadir dalam upacara-upacara ritual, pementasan royong penuh dengan kesakralan. Berbagai aturan
harus dipatuhi dalam pementasannya, dari tahap persiapan, tempat dan waktu pementasan. Pementasan royong akan terlaksana dengan baik bila
aturan-aturan dijalankan. Apabila pelaksanaan royong tidak sejalan dengan adat
kebiasaan, misalnya sesajen yang tidak lengkap, biasanya salah satu dari keluarga yang
menggelar hajatan akan kesurupan. Sebagaimana yang dituturkan, keluarga Kartini Dg Rannu, ketika seorang anaknya kawin. Kartini Dg Rannu sempat mengalami kesurupan;
…mengamuk-mengamuk ki, karena jajakkangnya (sesajennya) tidak
lengkap…itu eeehh..kaddo minya’nya,…waktu cuci beras tidak ada
bunyibunyian,
tidak dipukul genrang dan royongnya. Mestinya saat dicuci itu beras
ada bunyi-bunyian genrang, ana baccing, kancing, atau parappasa. Makanya
ada
kejadian….
Sama halnya yang disampaikan oleh Mulang Dg Memang,” punna tena di royongi anjo bunting ia saba salah serre pamamanakanna agga pai garring tunnabanabu”, jika tidak ada pementasan royong pada acara perkawinan,
maka salah seorang anggota keluarga mempelai akan sakit. Dia akan kesurupan dan merasa keberatan.
Pada acara perkawinan royong disajikan sebagai musik vokal
dengan syarat dan aturan tersendiri. Adapun sarana penyajian yang harus
diperhatikan meliputi tempat, waktu, pemain dan kostum. Tempat pertunjukan royong selalu berada di dua tempat, yaitu ri kale balla (ruang tengah
rumah) dan ri bilik bungtinga (dalam kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Biasanya tempat vokalis royong bersama dengan musik
pengiring ansambel ganrang pakballe (gendang pengobatan). Jika yang melakukan
hajatan adalah kalangan bangsawan, maka dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga caddi (panggung kecil).
Perlengkapan Royong
Perlengkapan royong meliputi bahan dan peralatan dalam
prosesi pementasannya. Bahan yang dimaksud adalah bahan-bahan jajakang,
yang terdiri dari;
a) Leko Sikabba (daun sirih satu ikat, beserta kapur) dan Rappo
Sikabba
(buah pinang satu ikat). Daun sirih dengan pinang seikat memiliki makna a’lekoki na’nikillaeki rappo yang mengandung arti
bahwa jika pohon itu berdaun, diupayakan untuk berbuah. Jika melakukan hajatan, maka pelaksana hajatan mengharapkan apa yang dicitacitakan dapat terwujud.
b) Tai Bani atau lilin merah dua buah, dimaknai sebagai
penerang, baik untuk pelaksana hajatan maupun pelaksana ritual (pa’royong).
c) Uang sesuai dengan keikhlasan pelaksana hajatan. Uang ini sebagai simbolisasi pappakalabbiri yang berarti pemberian
penghargaan kepada pelaku ritual atas pekerjaannya.
d) Air bening 1 gelas
e) Pa’dupang (tempat kayu bara untuk membakar kemenyan)
f) Kemenyan
g) Berasa si gantang (beras 4 liter)
h) Gula merah, dan kelapa masing-masing 1 buah
i) Kain putih, sebagai pembungkus peralatan ritual, merupakan simbol bahwa suatu upacara dimulai dengan kesucian (putih), agar apa yang diinginkan dapat tercapai dengan baik, dan agar upacara berlangsung dengan baik
j) Tembakau (rokok)
Adapun peralatan royong sebagai instrumen pengiring royong berupa
alat bunyi-bunyian. Pengiring royong dikategorikan
sebagai ansambel musik, karena merupakan gabungan dari beberapa instrumen, yang terdiri dari, instrumen
dari (a). tunrung pakballe dan (b) instrumen yang dimainkan
sendiri oleh pa’royong;
a) Instrumen Tunrung Pakballe terdiri dari ganrang (gendang), puik-puik (serompet), dengkang (gong), dan katto-katto (kentongan).
b) Intsrumen yang dimainkan oleh Pa’royong terdiri dari anak
baccing (berbentuk sudek yang saling dipukulkan), kancing (berbentuk kecer yang saling dipukulkan), parappasa/bulo sia-sia (terbuat dari
bambu, kedua ujungnya dibentuk seperti sapu lidi, panjangnya kurang lebih 30 cm), sinto (terbuat dari daun lontar, kedua ujungnya diikat), pakkappe
sumange’ (terbuat dari daun lontar), paku-paku pakballe (bentuknya
menyerupai parang, pada ujungnya tergantung rantai besi pendek), ju’ju/me’long atau sumbu (benang yang dipilin dan pada ujungnya ada anyaman daun lontar berbentuk segi delapan yang menunjukkan delapan penjuru mata angin).
Tahap Persiapan
Seorang pa’royong tidak akan sembarang menerima permintaan
untuk maroyong pada suatu hajatan(gaukang). Pa’royong yang
diundang (nibuntuli) akan melakukan penilaian kepantasan kepada orang yang memanggilnya. Biasanya penilaian berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Penilaian ini dilakukannya karena jika ia melakukan kesalahan maka dia bisa jatuh sakit.
Pelaksanaan royong disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu
yang disebut dengan Appiwattu. Seperti dalam tahapan
perkawinan, appassili dan abbubuk, prosesinya dilakukan pada pagi hari (paribbasa), sekitar pukul
09.00. Hal ini mengandung harapan agar kedua mempelai memperoleh kebahagian dan rezeki senantiasa bertambah ketika mereka menempuh hidup baru Sebelum pelantunan royong, baik pa’royong maupun
pemain tunrung
pakballe melakukan persiapan, dengan ritualnya masing-masing. Prosesi pertama adalah apparuru yang merupakan ritual berupa pengasapan
peralatan yang akan digunakan, baik peralatan royong maupun tunrung
pakballe. Tujuannya agar jalannya upacara tidak terganggu dan berjalan dengan baik. Kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan mantra, yang disebut dengan apparenta gandrang.
Prosesi ini untuk menyampaikan kepada Yang Maha Kuasa dan kepada para arwah leluhur bahwa upacara akan segera dimulai. Para pemain memohon perlindunganNya selama pelaksanaan upacara. Dalam prosesi ini juga harus disertai dengan jajakang.
Pementasan
Setelah prosesi apparuru, maka pementasan dapat segera
dilaksanakan. Dahulu pemain royong berjumlah 3-7 orang, yang masing-masing memegang satu instrumen atau peralatan royong, namun yang menyanyi atau
melantunkan royong hanya dua orang. Sekarang jumlah pa’royong sudah
berkurang, hanya 2-3 pa’royong yang bisa dihadirkan dalam suatu upacara.
Pertama-tama, paroyong membunyikan ana baccing. sebagaimana
yang disebutkan oleh Dg. Nurung…anne dikana ana baccing…anne ngerangi royong…ana baccing…pamulai royong..tenna assambarang ri kelongang…(ini namanya ana backing, yang membuka/memulai royong tidak
sembarang nyanyian yang dinyanyikan…) Pada dasarnya royong merupakan sebuah doa permohonan
kepada penguasa alam Tuhan Yang Maha Kuasa akan keselamatan hidup di dunia. Menjauhkan roh-roh jahat yang akan mengganggu ketentraman hidup dan penghormatan terhadap leluhur. Namun syair yang dilafalkan oleh pa’royong (sang vokalis royong) kadang sulit dipahami oleh pendengar, setiap suku
kata dilagukan dengan irama tertentu yang cukup lama. Pendengar hanya menikmati iramanya saja. Biasanya satu royong dinyanyikan semalam
suntuk dan diikuti oleh bunyi-bunyian tradisional yang cukup indah didengar Pada masing-masing upacara tersebut, royong disajikan
sebagai musik vokal dengan syarat dan aturan tersendiri. Tempat pertunjukan royong selalu berada di dua tempat, yaitu ri kale balla (ruang tengah
rumah) dan ri bilik bungtinga (dalam kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Jika yang melakukan hajatan adalah kalangan bangsawan, maka biasanya dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga
caddi (panggung kecil).
Menurut Basang (Solihing, 2004: 70), di dalam syair royong terkandung makna yang tidak ditemukan dalam bahasa sehari-hari, tetapi kalau
diperhatikan secara mendalam pemaknaannya mengandung doa-doa keselamatan hidup. Masyarakat Makassar meyakini bahwa dengan senandung royong dapat memberikan kebahagian hidup di masa datang, seperti bagi pasangan pengantin
baru. Pelantunan royong diyakini dapat menimbulkan kekuatan
gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.
Perempuan Pa’royong
Pada masa sebelum masyarakat etnik Makassar memeluk agama Islam, posisi pa’royong mendapat tempat dalam struktur
pemerintahan kerajaan. Struktur kerajaan yang ada pada saat itu yaitu Arung/Karaeng atau To
Matoa (raja atau yang dituakan), Gella (pelaksana tugas raja), sanro (
sebagai orang pintar). Pa’royong dianggap sebagai sanro yang
mempunyai kemampuan dan selalu menjadi pusat dalam setiap pelaksanaan acara ritual adat. Keberadaan sanro atau pa’royong dalam struktur adat masyarakat Makassar
bukanlah sekunder atau pelengkap, tetapi sebagai bagian dari penopang keutuhan negeri. Pa’royong dianggap sebagai ahli spiritual masyarakat lokal dan sebagai orang yang
ahli mengobati, yang berarti memiliki kelebihan.
Kedudukan dan peran pa’royong yang umumnya perempuan,
dalam setiap upacara ritual di komunitas masyarakat Makassar, menandakan adanya realitas perempuan yang memiliki posisi dalam aktifitas tradisi. Hal ini memperlihatkan pengalaman perempuan tradisi dalam suatu masyarakat ternyata telah diberi tempat, meski masyarakat menganut paham patriarki.
Dalam posisinya sebagai sanro, pa’royong mempunyai
pengetahuan untuk menyiapkan peralatan dan bahan-bahan dalam pelaksanaan upacara adat. Sanrolah yang menentukan kapan waktunya upacara, material yang harus digunakan dalam upacara, dan memimpin upacara. Jadi sanro memegang
kendali, mulai dari persiapan upacara, saat upacara berlangsung, hingga berakhirnya upacara.
Setelah Islam masuk, struktur adat bertambah dengan keberadaan guru (biasa juga disebut anrong guru yaitu orang yang
melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan Islam). Namun peran sanro hampir tidak
berbeda dengan peran yang sering dilakukan oleh guru, bahkan memiliki kesamaan,
seperti dalam ungkapan makkaharui Sanroe, mattola balawi gurue (Sanro
mencegah malapetaka dan guru bertugas menolak bala). Kedua peran itu sesungguhnya
sama yaitu tugas dalam ritual-ritual tolak bala atau dalam hal memohon
keselamatan kepada yang kuasa Meskipun demikian, sanro mempunyai posisi dan peran yang
masih dominan. Jika sanro berperan dari persiapan sampai
selesai, maka peran guru baru berfungsi pada saat acara telah dilaksanakan atau pada saat tinggal
berdoa
saja. Guru (anrong guru) lebih banyak
menangani hal-hal yang berkaitan dengan masalah syariat. Sanro juga memiliki peran yang signifikan dalam
rapat-rapat adat, karena memiliki kedalaman batin dan ketajaman spiritualitas.
Kondisi ini menampilkan ruang negosiasi antara ajaran Islam dengan komunitas lokal. Sebuah ruang kontestasi ajaran Islam yang diwakili guru yang laki-laki dengan pemahaman ajaran Islamnya dan perempuan pa’royong dengan pemahaman budaya lokal. Kontestasi perempuan pada masa tersebut dalam
menghadapi masyarakat yang patriarki membuat adanya keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Laki-laki tidak merasa lebih penting dari
perempuan.
Walaupun masyarakat Makassar telah menganut Islam secara keseluruhan dan menerima ajaran Islam dari sang guru, tetapi wilayah
spiritual yang banyak menyentuh ritus tradisi tetap melekat pada sanro (pa’royong). Jadi
keberadaan pa’royong sebagai sanro di tengah masyarakat Islam Makassar telah
berterima semenjak dulu.
Tradisi royong juga menjadi suatu penanda identitas bagi masyarakat Makassar. Pada dasarnya identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan,
sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial untuk melihat
diri sendiri tidak seperti yang lain. Identitas menyangkut apa-apa saja yang
membuat sekelompok orang atau komunitas berbeda dengan yang lainnya. Konsep
identitas berkaitan erat dengan gagasan budaya. Kesenian merupakan bagian dari
identitas diri sebuah etnik. Jelasnya bahwa tradisi royong hanya
terdapat dalam masyarakat etnik Makassar dan telah menjadi identitas diri bagi
orang Makassar, khususnya bagi kalangan bangsawan.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan royong juga
mengalami perubahan dan mulai memudar. Tradisi royong cenderung
ditinggalkan. Tradisi royong sudah jarang dilakukan. Hal ini dimungkinkan, karena banyak kalangan tidak lagi melaksanakan upacara-upacara daur hidup secara tradisional.
Kalaupun dilaksanakan, pelaksanaannya dengan sederhana, dan tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa. Akibatnya
secara perlahanlahan royong jarang dipentaskan. Terlebih lagi ada kesulitan untuk menemukan pelantun atau vokalis royong dalam suatu hajatan, karena
semakin berkurang pa’royong. Pa’royong yang masih ada tersisa rata-rata telah
berumur tua.
Dalam masyarakat Makassar (Kabupaten Gowa) ada beberapa jenis royong; yaitu (a) cui (burung); (b) Daeng Camummu (nama
orang); (c) kurrukurru jangang (panggilan terhadap ayam); dan (d) cui nilakborok (burung
yang diistimewakan). Royong ini merupakan nyanyian yang biasa
disajikan pada setiap upacara adat sunatan/khitanan, attompolok (aqiqah).
Syair-syairnya mengandung doa keselamatan dan cerita yang berkaitan dengan makna kehidupan
sehari-hari. Fungsinya adalah agar orang yang diroyongkan berumur panjang dan
kelak mendapat kehidupan yang baik.
Beberapa Syair Royong
Cui
Cuinamo, cuinamo cui ri poeng pangkenna, ri poeng pangke loena manrikbak,
sikayu-kayu mene situntung-tuntungang, ri passimbangenna sero, ri allakna
pakbineang, angkangkang bunduk pokena, assaraung donpak-dompak attakkang
bulo silasak napaale ri pakballe nanilurumo ri balo I balo mate nibuno mate
nitattak kallonna nanipokemo battanna, namateknekmo pakmaik.
Cui! battu
maeko mene anrikbakangi lolonnu, ilena gulubattunnu angkangkang
bunduk pokenu. Mangagaang ri Gowa tannga, numalo ri Tinggi mae numasengka
ri Bissei butta ri kabassungia, nanitayomo ri sombaya nikiokmi ri ratuia.
Tulusukmami mantama ri Gowa ri moncong-moncong. Anna mania ri paladang
tunisomba. Anna mantana ri jajareng ballak karaeng. Anna mangerang
pakballe.
Ibale nakilo lonna ilena gulukbattanna nasikuntumo numera, teamo
makjeknekmata namateknemo pakmai.
Pumbantinottok! siapa romang nusosok?, ruaji romang kusosok, nasakrak dale,
nakunggappa ruambatu, ruang kayu, sekre pakballe, sekre pakkape sumanga.
Inai ana, lanukape sumangakna? Anakna Gowa, jekne kalenna lakiyung. Kurru
ke jangang, ri tujunnako idaeng. Tottok garrinna, balekbeangi sawanna,
nanurikbakang cilaka tamatuanna.
Bangkennu, kondo buleng! kuntu laiya lolo, bonggannu, kondo! kontui
pappepek
banning. Ingkonnu, kondo! kontui buying nilappak. Dongkokmu, kondo!
Kaknyiknu kondo! kontui kipasak gading. Dadanu kondo buleng! Kuntui lappara
gading. Kallonu kondo! kontui sipik bulaeng. Lilanu kondo! kontui kamanyang
bauk. Amperengannu, kondo! Kontui pammoneang nisumpak. Rapponnu kondo!
kontui subang ri toil. Tainnu, kondo buleng! kontui pakleok basa
Daeng cammumuk! Daeng Cammumuk! kakdoklalomi kakdoknu poro sikakdek,
poro ia ri bawanu! palemek-lemek namandung rikallonnu; Nasikontumo masauk,
nateyamo masimpung, namateknekmo pakmaik.
Terjemahan :
Cuinyalah, cuinyalah cui di pangkal dahannya, di pangkal dahan besarnya,
terbang sendirian, terbang kemari tak hinggap-hinggap di perbatasan Sero,
di
antara Pakbineang. Dia memegang tombak perangnya, bertudung kecil-kecil,
bertombak bambu seruas, dipakai mengambil obat. Diseranglah oleh si Belang.
Si
Belang mati terbunuh, mati ditetak lehernya. Dibelah perutnya, diambillah
darahnya, dipakai memanterai obat. Obat penghias remaja, obat inti
perutnya.
Maka semuanya menangis, tak mau lagi menetes air matanya, maka senanglah
hatinya.
Cui datanglah kemari, menerbangkan mudamu. Obat inti perutmu, memegang
tombak perangmu, melalui Gowa Tengah, berjalan di TinggiMae, Kau singgah di
Bisei, tanah yang dimuliakan. Dipanggillah oleh Raja, diundanglah oleh yang
bertuan. Maka teruslah masuk di Gowa, di Moncong-moncong. Dia naiklah ke
balai kerajaan, di masuklah ke kedudukan istana, dia membawa obat, obat
penghias remaja, obat inti perutnya. Maka semua menangis, tak mau lagi
menetes
air matanya, maka senanglah hatinya (bahagialah)
Hai burung Pelatuk! Berapa hutan engkau masuki? Hanya dua hutan kumasuki,
sampai terbenam matahari. Aku mendapat dua buah, dua ekor satu obat, satu
pelambai semangat. Anak siapa akan kulambai semangatnya? Anaknya Gowa, air
bibitnya Lakiung. Kurr ayam, kearah tempatnyalah I Daeng. Cotok
penyakitnya,
hempaskan sawannya. Dan terbangkan celaka dan sialnya.
Kakimu wahai bangau putih! Seperti haliah muda. Pahamu wahai Bangau!
Seperti
pemukul benang. Ekormu wahai Bangau! Seperti kertas dilipat. Belakangmu
wahai Bangau! Seperti katak Jawa. Sayapmu wahai Bangau! Seperti kipas
gading.
Dadamu wahai bangau putih! Seperti mangkuk kecil trbuat dari gading.
Lehermu
wahai Bangau putih! Seperti sedok minyak. Matamu wahai Bangau! Seperti
intan
berkedip. Paruhmu wahai Bangau, seperti sepit Emas. Lidahmu wahai Bangau!
Seperti isap-isapan. Perutmu wahai Bangau, seperti gelang dibentuk. Hatimu
wahai Bangau! Seperti kemenyan harum. Perut besarmu wahai Bangau! Seperti
tempat adonan logam. Buah pinggangmu wahai bangau! Seperti subang di
telinga.
Baumu wahai Bangau putih! Seperti kemenyan harum.
Daeng Cammummu! Daeng Cammummu! Makanlah makananmu! Biar sedikit,
biar yang ada di mulutmu. Perlahan-lahan supaya turun di lehermu. Makanya
semua nikmat tak mau lagi susah, dan bahagialah. (Djirong, 1999:
1-83)
(Tradisi Royong) Andi Sulkarnaen, FIB UI 2010 Universitas Indonesia
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.