Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.
Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.
Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).
Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.
Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut ‘Cella Bangkahulu’ yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.
Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.
Hidup di tanah pembuangan yang jauh dari tanah tumpah darah sendiri mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Namun di Ceylon Siti Hapipa melahirkan banyak anak seperti marmut. Ia mencatat dalam sepucuk surat beraksara Jawi yang ditulisnya di Colombo tanggal 3 Januari 1807 bahwa anaknya duabelas orang (6 lelaki, 6 perempuan). Surat itu saya temukan baru-baru ini di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda (Kompas, 11&14/8/2008; Jurnal Wacana 10.2, 2008: 214-45).
Rupanya Sultan Fakhruddin punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Kelak anak itu menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.
Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (yang kemudian bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.
Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal Istana Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy (the Kandyan Malays) yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.
Enam saudara tiri Karaeng Sangunglo—Karaeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddin—juga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Tuan-tuan Eropanya.
Surat Siti Hapipa yang saya temukan itu juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada tanah Nusantara. Suaminya, yang menanggung utang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada Minggu, jam 13:30, 25 Januari 1795 di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek.
“Setelah [h]abis minum te[h] maka Baginda(h) bangun(g)lah daripada meja(h) serta mohon kepada Adelir [Angelbeek], maka baring2, tatkala itulah sudah pulang ke Rahmatullah kepada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah”, tulis Siti Hapipa dalam suratnya, menjelaskan penyebab kematian suaminya.
Perang atas nama penindasan antara sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusuf—yang dalam beberapa laporan Inggris disebut ‘Captain Usop Gowa’—dan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.
Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.
Mendekati Istana Kandy Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empatpuluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berpisah. Kini sebuah ‘reuni’ ironis terjadi dalam tatapan dan nafsu untuk saling membunuh.
Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya ‘fat and tall Malay prince’ di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia membujuk kedua saudara tirinya membelot ke pihak Kandy. Bujukan itu gagal, Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas Kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.
Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada Kerajaan Kandy. Akan tetapi Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak permintaan Raja Kandy itu, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.
Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang terjadi kepada seorang hamba jika seorang raja sudah murka. Algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Saking murkanya, Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Kedua jenazah itu dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.
Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah ‘tali sejarah’ yang mungkin dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makassary, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, di kaki Pulau Sulawesi sana.
Kiranya riwayat hidup ‘pahlawan Indonesia’ seberang lautan itu perlu diteliti lebih lanjut oleh cerdik-pandai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.
Sumber : Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar