AdSense

Senin, 18 Juni 2012

PROSESI RITUAL APPADEKKO DAN ASPEK PERTUNJUKAN MUSIKNYA (Pengamatan Budaya Ekpresif Masyarakat Petani Etnis Makassar)


 Oleh: Amir Razak Daeng Liwang
Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta

PENDAHULUAN

Masyarakat agraris tidak sulit untuk dikenali keberadaannya, karena masyarakat agraris sudah memiliki identifikas sosial tersendiri, dalam ilmu sosial sudah diidentifikasi bahwa masyarakat agraris adalah masyarakat kebanyakan yang tinggal atau bermukim di daerah atau wilayah pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani. Barangkali sudah sering terlintas dipikiran bahwa Indonesia adalah negara agraris, tidak mengherankan jika di negara ini banyak beragam budaya agraris. Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan agraris, karena sebagian besar masyarakatnya hidup di daerah pedesaan.
Daerah propinsi Sulawesi Selatan sebagian masyarakatnya juga adalah masyarakat yang berbudaya agraris, karena sebagian besar bermukim di daerah pedesaan dan hidup sebagai pengelola lahan pertanian. Banyaknya lahan pertanian seperti areal tambak, ladang, dan sawah garapan, merupakan bukti bahwa daerah Sulawesi Selatan adalah daerah agraris. Ketika memasuki daerah selatan kota Makassar yakni daerah kabupaten Gowa dan kabupaten Takalar ke arah selatan semakin nampak lagi hamparan sawah pertanian itu. Masyarakat di daerah inipun ketika musim bercocok tanam palawija dan bercocok tanam padi tiba, terlihat sibuk menggarap lahan persawahannya.
Daerah Takalar dan Gowa adalah dua daerah kabupaten di Sulawesi Selatan yang dihuni oleh masyarakat etnis Makassar. Etnis Makassar yang ada di Gowa mayoritas beragama Islam, bahkan dapat dikatakan 100 % menganut agama Islam. Meskipun demikian, di daerah ini masih banyak yang percaya bahwa di lingkungan sekitarnya ada mahluk halus yang menguasainya baik itu yang bersifat baik ataupun yang jahat.
Masyarakat Makassar masih mempercayai bahwa kekuatan roh nenek moyang mereka dapat memelihara dan memberi perlindungan terhadap kehidupannya dari segala bentuk gangguan yang bersumber dario alam lingkungannya. Karena itu mereka selalu berharap dapat menciptakan keserasian, keselarasan, harmonisasi melalui kegiatan ritus, dengan mempersembahkan berupa sesajian dan persembahan, sesjian tidak hanya diperuntukkan kepada roh-roh yang baik, tetapi juga kepada roh-roh jahat yang dianggap ada kalanya mendatangkan malapetaka yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai pada setiap kegiatan pesta atau upacara adat, masyarakat etnis Makassar masih umum melaksanakan upacara adat baik itu dengan tujuan untuk persembahan maupun untuk syukuran. Di antara upacara yang masih ada, adalah upacara appadekko yaitu ritus masyarakat petani, mereka melaksanakan ini karena mereka percaya bahwa jenis tanaman khususnya padi ada penunggunya. Di Makassar juga dipercaya bahwa penunggu padi adalah seorang perempuan yang umum dikenal dengan nama Dewi Sri. Karena latar belakang kepercayaan itu, masyarakat petani senantiasa mengadakan pesta upacara panen yang disebut appadekko yaitu upacara menumbuk padi muda. Tradisi lama juga masih dilaksanakan terutama pada saat akan memulai bercocok tanam, demikian juga pada saat akan panen, tradisi berlangsung khususnya dalam tanam dan panen padi.
Sangat logis jika padi oleh masyarakat petani diperlakukan secara khusus dibanding dengan tanaman lainnya. Bagaimanapun padi adalah sumber segala kehidupan. Jika panen berhasil, petani wajib mensyukurinya, sebagai wujud rasa syukur itu masyarakat senantiasa mengadakan kegiatan ritual termasuk kegiatan upacara ritual appadekko, pelaksanaan ini tidak berlangsung begitu saja akan tetapi sudah mengalami proses enkulturasi sesuai dengan kaidah atau aturan menurut adat istiadat yang turun-temurun. Fenomena budaya masyarakat petani di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan ketertarikan tersendiri, terlebih upacara appadekko yang dilaksanakan masyarakat petani mengandung aspek pertunjukan seperti tari, teater, dan musik.

1. Tradisi Tanam Padi
Masyarakat petani yang ada di daerah kabupaten Gowa dan Takalar, memiliki adat dan kebiasaan atau tradisi cara bercocok tanam, terlebih khusus dalam melakukan kegiatan tanam padi. Masyarakat petani di daerah ini jika akan memulai kegiatan menanam padi, pada umumnya melakukan persiapan tertentu yang disebut dengan appakaramula (memulai). Tradisi tersebut dilakukan oleh para petani, bertujuan untuk mendapatkan keselamatan selama melakukan masa bercocok tanam, dan supaya padi yang telah ditanam dapat tumbuh dengan suburnya, tentu dengan hasil diharapkan dapat berlimpah. Agar tujuan itu terwujud, maka pada saat appakaramula (memulai) para petani harus melakukan laku dengan cara berdoa dan bermantra yang lebih dikenal dalam bahasa Makassar dengan tradisi ammaca pa’doangang (membaca do’a) dan baca-baca (mantra).
Pada tataran tradisi appakaramula seperti yang disebutkan di atas, namun tidak semua petani dapat melakukannya akan tetapi dapat diwakilkan kepada orang yang mumpuni melakukan appakaramula. Kemampuan ini hanya bisa dilakukan oleh orang tua atau sesepuh yang disebut anrong guru (orang tua panutan masyarakat) atau panrita (seorang memiliki kemampuan khusus dalam adat etnis Makassar), dan pinggawa (pemimpin). Pada umumnya, kegiatan appakaramula disertai dengan pa’rappo (sesaji) dengan wadah daun pisang, sesaji biasanya berisi telur (bayao)satu biji, potongan buah pinang (rappo), dan anyaman daun sirih (leko’ kalomping). Sesaji tersebut tidak ada, kecuali bagi petani yang memandang bahwa itu adalah perbuatan yang musrik yang tidak sesuai dengan syariat atau ajaran Islam. Sesaji yang sudah disiapkan biasanya diletakkan pada singkulu tana (sudut sawah), karena sudut sawah adalah tempat dimulainya penanaman padi dan penancapan bibit padi yang pertama ke dalam tanah.

2. Tradisi Syukuran Masa Panen Padi
Bagi masyarakat petani, masa panen adalah masa yang ditunggu-tunggu dan dinantikan, karena dengan panen para petani dapat menuai hasil tanamannya sebagai hasil kerja kerasnya. Masa panen juga adalah suatu berkah dari Yang Maha Kuasa yang senantiasa disyukuri oleh para masyarakat petani. Rasa syukur para petani atas berkah yang diberikan tidak jarang secara individu maupun kolektif diwujudkan dalam kehidupan sosialnya. Rasa syukur petani secara individu biasanya diwujudkan dengan cara menyumbangkan sebagian hasil panennya untuk tetangga, saudara, dan bahkan ke tempat sosial seperti tempat ibadah mesjid. Secara kolektif mereka yang petani senantiasa melaksanakan upacara syukuran bersama dengan cara melakukan upacara yang dinamakan appadekko (upacara menumbuk padi). Budaya appadekko ini, bagi masyarakat petani di daerah kabupaten Gowa dan Takalar merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Khusus di desa Pa’dinging Takalar upacara appadekko sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan.
Appadekko adalah suatu kegiatan menumbuk padi muda yang dilakukan secara ritual. Dikatakan ritual karena appadekko (menumbuk padi dengan lesung), tidak seperti kegiatan menumbuk padi pada umumnya yang sering dilakukan masyarakat petani di Makassar dalam kehidupannya sehari-hari. Menumbuk padi yang sering dilaksanakan setiap hari hanya disebut addengka ase (menumbuk padi), jenis padi yang ditumbuk disebut ase toa (padi tua) tujuannya diola menjadi beras, baik untuk kebutuhan makanan maupun untuk dijual. Sedangkan menumbuk padi pada upacara appadekko (menumbuk padi), padi yang ditumbuk bukan padi jenis tua, melainkan jenis padi yang masih hijau yang disebut ase lolo (padi muda), tujuan menumbuk padi ini bukan ditumbuk untuk mendapatkan beras, melainkan untuk kepentingan obat tarang ati (ketajaman hati atau pikiran). Inti dari pelaksanaan upacara appadekko adalah untuk tujuan kesuburan, masyarakat petani yang melaksanakannya punya harapan dalam melaksanakan appadekko, harapannya supaya padinya yang akan disimpan kelak aman terhindar dari binatang atau hewan yang sering merusak padi dalam lumbung, seperti tikus dan binatang lainnya. Harapan petani ke depan, supaya kelak pada masa tanam tahun berikutnya, tanaman padinya dapat tumbuh subur dengan hasil yang lebih dengan tahun sebelumnya.

3. Prosesi Upacara Ritual Appadekko
Appadekko dikatakan sebagai kegiatan upacara ritual, karena dalam prosesi pelaksanaannya sangat didominasi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat religius sesuai dengan kepercayaan dan adat masyarakat. Kegiatan religius yang paling menonjol adalah pada saat akan memulai acara appadekko. Lebih jelasnya dapat disimak dalam urutan prosesi upacara berikut ini.

a. Tahap Persiapan
Sebelum kegiatan appadekko (menumbuk padi) dilakukan, sebelumnya perlu menyiapkan segala perlengkapan upacara. Diantaranya seperti; ase lolo (padi muda), assung (lesung), alu (alu), padengka (penumbuk), baju ada’ (baju adat / kostum adat), dan tampa pa’dengkang (tempat kegiatan menumbuk padi). Sarana tersebut mutlak harus ada oleh karena hanya dengan sarana itu kegiatan appadekko (menumbuk padi) dapat dilakukan.
Ase lolo (padi muda) adalah jenis padi yang belum menguning namun masih hijau tetapi sudah berisi. Padi ini perlakukan secara khusus baik cara memanennya, cara membawanya, tempat menyimpan dan cara menyimpannya, terlebih cara menumbuknya. Padi muda dipanen oleh orang khusus yang menguasai mantra untuk memotong padi, biasanya dilakukan oleh seorang anrong guru (orang panutan yang dituakan), setelah orang panutan ini memotong padi pertama dari batangnya kemudian diikuti oleh yang lain dengan syarat memiliki kelincahan tersendiri menggunakan pakkato (anai-anai) dalam memanen padi. Setelah padi terkumpul banyak, lalu padi ni basse (diikat) secara hati-hati. Setelah diikat lalu dipikul menuju rumah tempat upacara secara hati-hati, pada saat padi dipikul diusahakan tidak sebutirpun rontok dan jatuh ke tanah, sebutir padi yang jatuh adalah pantangan atau pemali. Cara menghindari itu, orang yang memikul disamping hati-hati tidak boleh bergantian dan berhenti untuk isterahat sebelum sampai tujuan yaitu rmah tempat melaksanakan upacara. Pada saat membawa padi ini berlangsung menjadi perhatian atau tontonan yang menarik bagi masyarakat petani. Padi ini nantinya akan diletakkan dalam rumah, untuk diberkati oleh anrong guru dengan cara nipammacang doangang (dibacakan do’a).
Assung (lesung) yang digunakan dalam upacara appadekko adalah jenis lesung yang terbuat dari kayu yang keras dan memiliki kualitas bunyi. Pentingnya lesung dengan bunyi yang berkualitas, karena bunyi lesung juga unsur terpenting yang dibutuhkan dalam appadekko, dengan bunyi lesung yang bagus pelaksanaan upacara akan lebih meriah dan supaya kedengaran dipelosok desa.
Alu (alu) adalah alat penumbuk padi, yang digunakan dalam appadekko ada dua jeni alu, yaitu alu yang terbuat dari kayu dan bambu. Alu Bulo (Alu bambu) gunanya untuk menumbuk padi, sedangkan alu kayu untuk menumbuk fisik lesung.
Seseorang yang melakukan kegiatan menumbuk padi dengan menggunakan media assung (lesung) dalam masyarakat etnis Makassar disebut padengka. Pada upacara ritual appadekko, memilih padengka juga memiliki syarat tersendiri. Syarat utama seorang penumbuk padi diharuskan seorang gadis yang masih belia tidak mengalami masa menstruasi. Gadis dalam bahasa masyarakat Makassar disebut tau lolo (gadis), pemilihan gadis ini dilakukan dengan cara menunjuk dan minta persetujuan dari gadis dan orang tua gadis yang ditunjuk, bagi mereka (gadis) yang ditunjuk supaya ikhlas dan mau melakukan kegiatan menumbuk padi dari awal sampai upacara berakhir. Saat penunjukannya, harus dilakukan pendekatan personal kepada gadis dengan cara dibujuk, tujuannya adalah supaya si gadis tidak malu saat menumbuk padi karena akan disaksikan banyak.masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk kepentingan lancarnya jalannya kegiatan upacara ritual appadekko. Menunjuk gadis penumbuk padi tidak dilakukan secara mendadak, melainkan jauh hari sebelumnya, minimal satu minggu sebelum hari pelaksanaan upacara sudah harus ada kesepakatan dan kepastian bahwa gadis yang ditunjuk siap dan mau melakukan kegiatan menumbuk padi.
Para penumbuk padi (gadis) pada saat melaksanakan kegiatan upacara harus memakai kostum baju ada’ (baju adat / kostum adat), kostum yang dikenakan yaitu baju bodo (kostum adat Makassar) dan sarung yang tebuat dari sutra yang disebut lipa’ sabbe sarung sutra). Dalam budaya adat di Makassar, sudah menjadi tradisi atau kebiasaan bahwa dalam setiap pesta adat diharuskan menggunakan baju bodo. Ketentuan adat ini perlu dilakukan, supaya pesta adat lebih kegiatan agung dan berkesan terhormat. Baju bodo bagi perempuan Bugis-Makassar merupakan lambang kehormatan. Selain gadis tersebut yang sudah ditunjuk masih ada dua penumbuk lesung yaitu pakatto-katto (pembawa ketukan) dan pa’padugu-dugu (pembawa pola ritme variasi). Antara kedua orang ini, tidak betindak sebagai penumbuk padi, melainkan hanya menumbuk fisik lesung untuk menghiasi bunyi atau suara tumbukan si gadis. Antara pakatto-katto dan papadugu-dugu dapat dilakukan oleh siapa saja, yang penting mampu dan bisa melakukan variasi-variasi bunyi untuk mengimbangi suara atau bunyi hasil tumbukan (si gadis). Dapat dikatakann bahwa kedua orang penumbuk yang menumbuk fisik lesung harus memiliki rasa musikal.
Tampa pa’dengkang (tempat kegiatan menumbuk padi) juga harus disiapkan khusus. Tempat pelaksanaan upacara appadekko, umumnya disiapkan di depan rumah pelaksana upacara. Seperti sarana lainnya, tempat juga perlu disiapkan dan siap sehari sebelum pelaksanaan upacara, mengapa demikian? Karena tempat pelaksanaan juga harus menggunakan tenda dan di dekorasi dengan mengelilingkan janur kuning atau dengan menggunakan bombong kaluku (janur kuning dari kelapa) disekeliling areal pelaksanaan upacara. Di samping janur berfungsi sebagai media dekoratif, juga berfungsi sebagai garis pembatas area pelaksanaan upacara.

b. Pelaksanaan upacara appadeko
Pada pelaksanaannya appadekko (menumbuk padi muda) dilakukan di halaman rumah, umumnya tempat pelaksanaan ditutupi dengan tenda yang berfungsi untuk melindungi para penumbuk padi dari sinar matahari. Perlu di informasikan bahwa pelaksanaan upacara menumbuk padi berlangsung dari pagi sekitar pukul 09.00 sampai menjelang sore hari sekitar pukul 15.00 atau tergantung selesainya sang padi muda ditumbuk. Pada saat akan dilaksanakan appadekko banyak dipadati oleh masyarakat yang mau menyaksikan kelihaian para gadis muda (tau lolo) menumbuk padi muda, disamping itu ingin mendengar suara lesung yang assibali-bali (saling bersahutan).
Sebelum kegiatan menumbuk lesung dimulai, sebelumnya diadakan upacara khusus dalam rumah yaitu dengan cara berdo’a bersama yang dipimpin oleh seorang anrong guru (kaum pemuka adat). Pada saat do’a bersama ini berlangsung gadis-gadis para penumbuk padi juga dihadirkan untuk diberi berkah supaya tidak mengalami satu halangan sampai acara usai, padi muda yang akan ditumbuk juga sudah dipersiapkan dan juga di do’akan pada saat do’a bersama. Acara do’a ini, disebut assoro manca doangang (membaca do’a), kegiatan ini umum dilakukan oleh masyarakat di Makassar terlebih untuk kegiatan syukuran, ia (do’a) sudah menjadi tradisi atau adat istiadat yang sudah di enkulturasi-kan dari generasi kegenerasi. Enkulturasi disini adalah suatu proses dan penerusan kebudayaan suatu masyarakat dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
Ketika do’a bersama telah dilakukan, barulah padi diantar menuju lesung yang sudah siap di halaman rumah, disusul dengan gadis-gadis penumbuk padi (tau lolo padengka). Lesung yang sudah siap juga sudah diberkati dengan cara niba’basa (dipercikan air dengan menggunakan daun khusus). Alu untuk menumbuk pun sudah disiapkan di atas lesung, sehingga begitu gadis sampai di halaman rumah tempat lesung, langsung memegang alunya masing-masing. Kalau gadis penumbuk itu ada enam orang berarti, tiga berada disisi kiri lesung dan tiga orang disisi kanan, begitu juga jika penumbuknya lebih dari enam orang, tinggal dibagi dua saja separuhnya dikanan separuh lagi disisi kiri lesung. Biasanya, jumlah gadis penumbuk berjumlah genap minimal empat orang secara berpasangan. Setelah padi sudah diletakkan di atas lesung, gadis-gadis mulai beraksi appadekko, dengan posisi pada pola ritmenya masing-masing. Disamping gadis-gadis ada penumbuk dua orang yang siap beraksi dengan pola ritme pariasi spontanitasnya yang disebut padugu-dugu. Disela gadis-gadis, juga ada satu orang yang berposisi sebagai pakatto-katto (pemegang ketukan).
Mengamati jalannya upacara appadekko banyak hal yang perlu dikaji di dalamnya, terutama aspek pertunjukan dari upacara ini. Berdasarkan sumber tertulis yang diperoleh, bahwa Appadekko adalah seni tradisional kerakyatan masyarakat Makassar agraris (masyarakat petani) yang memiliki tiga unsur seni pertunjukan yaitu Tari, teater, dan musik.

4. Aspek Pertunjukan Appadekko Selain Musik
a. Tari
Unsur seni pertunjukan yaitu tari pada appadekko, terletak pada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para penumbuk lesung, baik itu sang gadis dan kedua penumbuk pemberi ketukan dan improvisasi. Gerakan yang terlihat sangat dominan pada kegiatan ini adalah gerakan tangan dan alu, gerakan tangan terlihat ke depan dan kebelakang, gerakan tangan ini disebut dengan assoe (mengayunkan tangan) sedangkan alu yang digerakkan secara naik turun disebut dengka (tumbuk). Gerakan juga terlihat dominan pada penumbuk yang khusus menumbuk ulu assung (kepala lesung), penumbuk ini terkadang dengan jiwa spontanitasnya memutarkan alu pada leher, pinggang, sambil memutar mengililingi lesung dan juga para gadis penumbuk, terkadang memadukan gerakannya dengan gerakan silat yang disebut gerakan pamanca (gerakan silat). Gadis penumbuk yang khusus menumbuk padi muda, juga diharuskan menggunakan gerakan yang halus khususnya dalam menggerakkan tangan. Tujuan aturan adanya gerakan halus lembut, tidak lain berfungsi menjaga padi muda agar tidak hancur, disamping itu supaya gadis penumbuk kelihatan rapi dan enak dipandang. Gerakan ini juga memiliki arti bagi si gadis, bahwa gadis (tau lolo) berjiwa lembut seperti dengan sifat kewaniatannya.

b. Aspek Teater
Aspek teater dari appadekko dominan dilakukan oleh seorang yang bertugas sebagai padugu-dugu, hal ini mengacu pendapat bahwa teater dalam artinya yang luas mencakup segala jenis tontonan baik dengan tema cerita maupun tidak, seperti akrobat, sirkus, debus, jaran kepang, dan lain-lain, jenis ini identik dengan kegiatan appadekko. Aspek ini dapat dilihat dari segi tingkah laku dari seorang penumbuk fisik lesung yaitu si padudgu-dugu, . Selama memukul lesung dengan alu yang terbuat dari kayu, ia pandai memukau penonton dengan gerakan-gerakan leluconnya, sesekali berteriak, bercanda melakukan komunikasi dengan lesung yang ditumbuknya dengan alu yang dipegangnya, meskipun komunikasi itu sasarannya untuk penonton supaya merasa terhibur. Tidak hanya gerakannya yang lucu, akan tetapi bunyi hasil tumbukannya terkadang mengundang tawa meskipun tidak sesuai dengan ketukan, karena alu yang dipegangnya melenceng dari bibir lesung, bahkan fisiknya yang kelihatan lelah namun ia masih mau dan terus berusaha menumbuk lesung dapat menjadi tontonan yang menarik.

5. Tinjauan Musik Appadekko
Masyarakat petani pada saat mengadakan appadekko tidak menamakannya bahwa akan mengadakan pertunjukan musik, meskipun selama melaksanakan atau melakukannya mementingkan bunyi yang bagus dan enak didengar. Oleh karena itu mulai dari awal sudah diadakan pemilihan lesung, yang dipilih tentunya adalah lesung yang memiliki kualitas bunyi yang bagus, dalam istilah lokal adalah lesung yang baji appoali (bagus mau menyahut). Demikian juga alu yang digunakan penumbuk padi, sebelumnya sudah dipilih jenis bambunya berdasarkan karakter bunyinya. Karakter bunyi tidak ada dalam bahasa Makassar, namun ada istilah bahasa lokal yang digunakannya saat memilih alu dari bambu. Bambu dipilih berdasarkan sa’ranna (suaranya) ada yang ciknong (nyarring), lompo sa’ranna (besar suaranya), jenis bambu dengan suara ini tergolong bambu yang bagus. Adapun keriteria alu dari bambu yang jele adalah memiliki suara a’barebe (cempreng), reppe (pecah), dan caddi (kecil). Berdasarkan ini, dari pemilihan assung (lesung) dan alu saja, sudah menunjukkan bahwa masyarakat petani juga memiliki rasa musikalitas. Bagi mereka pemilihan itu dilakukan dengan tujuan supaya pada saat lesung ditumbuk dengan alu baji sa’ranna (bunyi yang bagus) dan baji kalangnerang (bagus kedengarannya), erok poali (mau menyahut).
Pada saat melakukan appadekko, masing-masing padengka (penumbuk padi), terutama sang gadis sudah diatur sedemikian rupa tentang cara menumbuk dan pola ritmiknya, dengan demikian gadis penumbuk sudah tau tentang pola ritmenya masing, meskipun terkadang keliru karena pola ritme itu diajarkan spontan hanya pada saat akan menumbuk padi dan sudah berhadapan dengan lesung. Meskipun demikian, sangat terlihat ciri kerakyatan dari upacara appadekko ini, baik dari segi penanpilannya, terlebih dari aspek musik yang ditimbulkannya. Meskipun demikian, appaddekko dapat disebut sebagai musik rakyat

a. Pemain
Pada uraian di atas, sekilas sudah disampaikan bahwa dalam kegiatan appadekko, ada tiga nama pemain yang memegang peranan penting, yaitu; tau lolo padengka (gadis penumbuk padi), pakatto-katto (penentu ketukan), dan padugu-dugu (penumbuk yang melakukan variasi). Ketiga nama itu, memiliki tugas masing-masing dalam acara menumbuk padi di atas lesung.
1) Tugas tau lolo padengka (gadis penumbuk padi); bertugas khusus menumbuk padi muda yang ada dalam lesung, Jenis alu yang digunakan terbuat dari potongan bambu yang panjangnya berkisar satu setengah meter. Bagian ini minimal dilakukan empat orang berpasangan, bisa lebih dari htiungan genap.
2) Pakatto-katto (penentu ketukan), adalah orang yang bertugas menjaga ketukan atau tempo permainan, biasanya yang ditunjuk adalah perempuan yang sudah punya suami. Pakatto-katto hanya ditugaskan menumbuk kedua bibir lesung atau dikenal dengan nama biring assung (bagian pinggir lesung) dengan menggunakan kayu atau alu kecil yang panjangnya kira–kira hanya satu meter, dari panjang alu yang sebenarnya adalah kira-kira satu setengah meter. Posisi pakatto-katto barada di antara para gadis penumbuk padi, karena itu diharuskan seorang perempuan untuk melakukannya. Bagian ini hanya dilakukan oleh satu orang saja yang semata untuk mengatur tempo permainan.
3) Padugu-dugu, adalah orang yang bertugas menumbuk hanya pada sekitar kepala lesung atau ujung lesung yang disebut ulu assung. yang biasa ditugaskan adalah orang laki-laki dewasa atau yang orang tua, dan punya kemampuan dalam mengola bunyi secara spontanitas. Tugas ini juga dapat dilakukan oleh siapa saja yang mau, yang penting punya kemampuan dalam berimprovisasi, bagian ini diharuskan laki-laki karena tugasnya berat, alu yang digunakanpun terbuat dari kayu yang berat. Bagian ini dilakukan sat atau dua orang secara berpasangan, dengan cara berhadapan menghadap lesung.
Berdasarkan posisi dan tugasnya, antara tau lolo padengka padi muda, pakatto-katto, dan padugu-dugu memegang ritmenya masing masing. Pola ritme yang dimainkan oleh masing-masing dapat dilihat pada transkrip berikut ini.

b. Transkripsi musik appadekko.
Padengka 1 : Tg Tg Tg Tg
Padengka 2 : .Tg .Tg .Tg .Tg
Padengka 3 : Tg. Tg. Tg. Tg.
Padengka 4 : Tg Tg Tg Tg
Pakatto-kato : Tk Tk Tk Tk
Padugu-dugu : DDD DDD DDD DDD

Tg= Tung, Tk=Tok, D=Dung

PENUTUP
Masih banyak hal yang menarik yang perlu dikaji dari topik ini, diantaranya makna-makna, simbol nilai, konsep masyarakat petani di Sulawesi Selatan khususnya masyarakat petani yang bermukim di Makassar dan etnis Makassar. Aspek pertunjukan upacara ritual appadekko hanya satu unsur, karena masih banyak rangkaian atau unsur lainnya yang lepas dari pengamatan ini. Meskipun demikian berdasarkan, berdasarkan pengamatan ini, appadekko adalah suatu kegiatan ritual masyarakat petani yang dilakukan dalam setiap tahunnya, upacara ritual appadekko adalah salah budaya ekspresif masyarakat petani yang memiliki tiga unsur pokok dipandang dari segi aspek pertunjukannya, diantaranya appadekko memiliki unsur seni tari, unsur seni teater, dan unsur seni musik.
Tujuan upacara Appadekko dilaksanakan oleh masyarakat petani adalah untuk mensyukuri hasil panen padinya, tetapi juga ada harapan atau keinginan masyarakat sehingga melakukan upacara ritual ini. Harapannya adalah semoga padi yang sudah dipanen, nantinya menjadi berkah bagi keluarga, mencukupi sampai panen berikutnya. Karena itu padi yang disimpan perlu dijaga baik dari gangguan yang nampak maupun yang tidak nampak. Keinginan atau harapan berikutnya adalah supaya hasil panen pada tahun berikutnya mengalami 
peningkatan. Upacara ritual appadekko hanya sutu cara petani untuk mewujudkan harapan dan tujuan sebagian masyarakat petani di Sulawesi Selatan.




Artikel Terkait:

by Facebook Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar