Masyarakat Etnik Makassar yang
mendiami pesisir pantai jazirah selatan Pulau Sulawesi sangat terkenal dengan kekayaan Seni
dan Budayanya, tak terkecuali dalam Tradisi Lisan. Masyarakat Makassar mengenal berbagai sastra Lisan baik yang
berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang baik dalam bentuk prosa maupun
puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam
instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik. Jenis sastra yang dituturkan selain
dinamai sesuai dengan alat musik yang mengiringinya juga ia diberinama
tersendiri sesuai nama sastra tersebut. Beberapa sastra prosa dinamakan
sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan jalan dinyanyikan
karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi
diberi nama kelong yang seara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun
pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok
kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu
karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.
Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat Accera’ Kalompoang, perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).
Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup (life cycle rites) secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong sekarang ini di atas 70 tahun.
Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat Accera’ Kalompoang, perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).
Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup (life cycle rites) secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong sekarang ini di atas 70 tahun.
Yang unik dari tradisi Lisan ini karena Royong hanya bisa diwariskan kepada kaum perempuan dalam lingkungan keluarga pa’royong itu sendiri.Seseorang
bisa menjadi pa’royong bila
mempunyai garis keturunan pa’royong.
Itupun bukan karena kemauan sendiri akan tetapi “dipilih oleh suatu kekuatan
gaib” yang ditandai dengan kesurupan atau sakit beberapa hari. Penunjukannya
sebagai pa’royong berlangsung
secara gaib yang merupakan kehendak dari arwah leluhur bersemayam di dalam kalompoang (boe-boe). Seorang
yang “terpilih” akan mengalami kejadian aneh. Kejadian ini baru berhenti bila
yang terpilih telah melakukan suatu ritual, sebagai tanda setuju untuk menjadi pa’royong. Peralatan royong yang telah diwariskan
juga harus dijaga dengan dengan baik, pada waktu-waktu tertentu perlu diberikan
jajakang.
Dalam
penyajiannya, vokalis royong tidak
menyebutkan secara jelas isi syairnya, tetapi hanya menyebutkan bunyi vokal
misalnya /eee/ atau /ooo/ dan berupa kata yang merupakan sambungan-sambungan
kalimat atau syair yang akan diungkapkan. Sebagai contoh dalam salah satu bait syair royong yang biasa dinyanyikan dalam upacara aqiqah (passili) …”Bolaeng Intan Jamarro Panggaukanna Situju Batang Kalenna, Batenna
nagoya…. akan dilagukan oleh pa’royong seperti : …..Boooooo-laaaaaa-eeeeeeeng-iiinntann-jaaaaaa-maaaaaaa-rroooooopaaaaaang-
gaaaaaa-uuuu-kaaan-naaaaa-siiii-tuuu-juuu-baaaa-taaang-kaaaaleee-naaa-baaaa-teeee-nnaaaa-naaaaa-gooo-yaaaa…
Penyebutan
bunyi vokal yang panjang merupakan ciri dari pelantunan royong. Jadi terkadang pendengar tidak jelas menangkap
kalimat lagunya. Terlebih lagi kebiasaan pa’royong
pada saat melantukan syair royong
selalu menutup mulutnya dengan selendangnya. Biasanya royong
dilantunkan semalam suntuk.
Asal Asul
Pelantun Royong di Gowa/Makassar sangat percaya jika kehadiran royong ini bersamaan dengan kehadiran Tumanurung. Tumanurung di Gowa adalah
seorang perempuan yang bernama Putri Tamalate/Tumanurung Baineyya, beliau turun dari langit beserta dua dayang-dayang lengkap
dengan gaukang (benda kebesaran). Dayang-dayang
inilah yang menyanyikan royong seiring
dengan turunnya Putri Tamalate ke peretiwi
(dunia). Nyanyian royong
ini, didengar oleh penduduk Gallarang
Mangasa, yang kemudian
melaporkannya kepada para pemimpin kaum (Batesalapang dan Paccallayya). Batesalapang dan
Paccallayya kemudian pergi
menemui Tomanurung. Selanjutnya
Tomanurung kawin dengan
Karaeng Bayo (pasangan ini kemudian menjadi raja Gowa pertama). Dalam
perkawinan tersebut, royong kembali
dinyanyikan oleh kedua dayang-dayang Putri Tamalate. Lalu ketika anak pasangan
Karaeng Bayo dengan Putri Tamalate, yang bernama Karaeng Tumasalangga
Baraya lahir, royong
kembali dinyanyikan oleh dayang-dayang. Setelah itu dayang-dayang
pun menghilang. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa royong berasal dari langit dan
turun ke bumi bersama dengan datangnya Tomanurung
di Gowa. Tradisi ini kemudian dilakukan dalam setiap upacara adat
atau ritus orang Makassar, terutama dalam siklus kehidupan manusia.
Sisi lain dari Royong adalah
mengenai kepercayaan masyarakat Makassar tentang Fungsi, khasiat dan efek dari
royong yang konon dapat menyembuhkan suatu penyakit, menolak bala, dll. Hal ini dapat
kita pahami jika melihat kalimat-kalimat royong itu sendiri yang menyerupai sebuah Do’a/harapan
kepada Yang Maha Kuasa tentang sesuatu hal.
Pada acara
perkawinan royong disajikan
sebagai musik vokal dengan syarat dan aturan tersendiri. Adapun sarana
penyajian yang harus diperhatikan meliputi tempat, waktu, pemain dan kostum.
Tempat pertunjukan royong selalu
berada di dua tempat, yaitu ri kale
balla (ruang tengah rumah) dan ri bilik buntinga (dalam
kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Biasanya tempat vokalis royong bersama dengan musik
pengiring ansambel
ganrang pakballe (gendang
pengobatan). Jika yang melakukan hajatan adalah kalangan bangsawan, maka
dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga caddi (panggung kecil).
Sebagai sebuah tradisi yang hadir dalam upacara-upacara ritual, pementasan royong penuh dengan kesakralan. Berbagai aturan harus dipatuhi dalam pementasannya, dari tahap persiapan, tempat dan waktu pementasan. Pementasan royong akan terlaksana dengan baik bila aturan-aturan dijalankan. Apabila pelaksanaan royong tidak sejalan dengan adat kebiasaan, misalnya sesajen yang tidak lengkap, biasanya salah satu dari keluarga yang menggelar hajatan akan kesurupan.
a) Air bening 1 gelas
b) Tai
Bani atau lilin merah dua buah, dimaknai sebagai penerang,
baik
untuk
pelaksana hajatan maupun pelaksana ritual (pa’royong).
c) Uang sesuai dengan keikhlasan pelaksana
hajatan. Uang ini sebagai
simbolisasi pappakalabbiri yang berarti
pemberian penghargaan
kepada
pelaku ritual atas pekerjaannya.
d) Leko
Sikabba (daun sirih satu ikat, beserta kapur) dan Rappo Sikabba
(buah pinang
satu ikat). Daun sirih dengan pinang seikat memiliki
makna a’lekoki na’nikillaeki rappo yang
mengandung arti bahwa jika
pohon itu
berdaun, diupayakan untuk berbuah. Jika melakukan
hajatan,
maka pelaksana hajatan mengharapkan apa yang dicitacitakan
dapat
terwujud.
e) Pa’dupang
(tempat kayu bara untuk membakar kemenyan)
f) Kemenyan
g) Berasa
si gantang (beras 4 liter)
h) Gula merah, dan kelapa masing-masing 1
buah
i) Kain putih, sebagai pembungkus
peralatan ritual, merupakan simbol
bahwa suatu
upacara dimulai dengan kesucian (putih), agar apa yang
diinginkan
dapat tercapai dengan baik, dan agar upacara berlangsung
dengan baik
j) Tembakau (rokok)
Tradisi Lisan Royong juga sangat terkait
dengan strafifikasi sosial masyarakat etnik Makassar. Dalam masyarakat Makassar
dikenal tingkatan sosial masyararat antara lain:
1). kelas atas adalah keluarga raja yang berkuasa (Sombaya),
2). bangsawan (karaeng),
3). masyarakat biasa yang bebas dari perbudakan (Tomaradeka),
4). budak (ata).
Adapun tingkatan royong dikenal
adanya:
1. Royong Bajo yang digelar untuk kalangan/ keluarga raja (sombaya),
2. Royong Karaeng untuk kalangan bangsawan
3. Royong Daeng
Sementara kalangan budak tidak ditemukan jenis royong untuk mereka.
1. Royong Bajo yang digelar untuk kalangan/ keluarga raja (sombaya),
2. Royong Karaeng untuk kalangan bangsawan
3. Royong Daeng
Sementara kalangan budak tidak ditemukan jenis royong untuk mereka.
Contoh Syair Royong :
blognya bagus...nice info buat nak asli makassar.
BalasHapusthanks infonya n salam kenal.
artikel yang sangat bagus, info bagus buat pemuda makassar, agar melestarikan budaya Makassar.
BalasHapusmo nitip pesen juga ne, buat pemuda Makassar.
Bagi rekan soundman, telah hadir kembali di Makassar.
Training sound sistem, dengan materi lengkap meliputi seluruh perlengkapan live sound.
dan dengan pengajar berpengalaman, yang telah meluluskan lebih dari 1200 soundMan handal.
Info, contact : 0411-9175088