AdSense

Rabu, 27 Juni 2012

ROYONG, Tradisi Lisan Suku Makassar

Masyarakat Etnik Makassar yang mendiami pesisir pantai jazirah selatan Pulau Sulawesi sangat terkenal dengan kekayaan Seni dan Budayanya, tak terkecuali dalam Tradisi Lisan. Masyarakat Makassar mengenal berbagai sastra Lisan baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang baik dalam bentuk prosa maupun puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik. Jenis sastra yang dituturkan selain dinamai sesuai dengan alat musik yang mengiringinya juga ia diberinama tersendiri sesuai nama sastra tersebut. Beberapa sastra prosa dinamakan sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan jalan dinyanyikan karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi diberi nama kelong yang seara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.
Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat
Accera’ Kalompoang, perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).
Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup
(life cycle rites) secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong sekarang ini di atas 70 tahun.
Yang unik dari tradisi Lisan ini karena Royong hanya bisa diwariskan kepada kaum perempuan dalam lingkungan keluarga pa’royong itu sendiri.Seseorang bisa menjadi pa’royong bila mempunyai garis keturunan pa’royong. Itupun bukan karena kemauan sendiri akan tetapi “dipilih oleh suatu kekuatan gaib” yang ditandai dengan kesurupan atau sakit beberapa hari. Penunjukannya sebagai pa’royong berlangsung secara gaib yang merupakan kehendak dari arwah leluhur bersemayam di dalam kalompoang (boe-boe). Seorang yang “terpilih” akan mengalami kejadian aneh. Kejadian ini baru berhenti bila yang terpilih telah melakukan suatu ritual, sebagai tanda setuju untuk menjadi pa’royong. Peralatan royong yang telah diwariskan juga harus dijaga dengan dengan baik, pada waktu-waktu tertentu perlu diberikan jajakang.
Dalam penyajiannya, vokalis royong tidak menyebutkan secara jelas isi syairnya, tetapi hanya menyebutkan bunyi vokal misalnya /eee/ atau /ooo/ dan berupa kata yang merupakan sambungan-sambungan kalimat atau syair yang akan diungkapkan. Sebagai contoh dalam salah satu bait syair royong yang biasa dinyanyikan dalam upacara aqiqah (passili) …”Bolaeng Intan Jamarro Panggaukanna Situju Batang Kalenna, Batenna nagoya…. akan dilagukan oleh pa’royong seperti : …..Boooooo-laaaaaa-eeeeeeeng-iiinntann-jaaaaaa-maaaaaaa-rroooooopaaaaaang- gaaaaaa-uuuu-kaaan-naaaaa-siiii-tuuu-juuu-baaaa-taaang-kaaaaleee-naaa-baaaa-teeee-nnaaaa-naaaaa-gooo-yaaaa…
Penyebutan bunyi vokal yang panjang merupakan ciri dari pelantunan royong. Jadi terkadang pendengar tidak jelas menangkap kalimat lagunya. Terlebih lagi kebiasaan pa’royong pada saat melantukan syair royong selalu menutup mulutnya dengan selendangnya. Biasanya royong dilantunkan semalam suntuk.

Asal Asul
Pelantun Royong di Gowa/Makassar sangat percaya jika kehadiran royong ini bersamaan dengan kehadiran Tumanurung. Tumanurung di Gowa adalah seorang perempuan yang bernama Putri Tamalate/Tumanurung Baineyya, beliau turun dari langit beserta dua dayang-dayang lengkap dengan gaukang (benda kebesaran). Dayang-dayang inilah yang menyanyikan royong seiring dengan turunnya Putri Tamalate ke peretiwi (dunia). Nyanyian royong ini, didengar oleh penduduk Gallarang Mangasa, yang kemudian melaporkannya kepada para pemimpin kaum (Batesalapang  dan Paccallayya). Batesalapang dan Paccallayya kemudian pergi menemui Tomanurung. Selanjutnya Tomanurung kawin dengan Karaeng Bayo (pasangan ini kemudian menjadi raja Gowa pertama). Dalam perkawinan tersebut, royong kembali dinyanyikan oleh kedua dayang-dayang Putri Tamalate. Lalu ketika anak pasangan Karaeng Bayo dengan Putri Tamalate, yang bernama Karaeng Tumasalangga Baraya lahir, royong kembali dinyanyikan oleh dayang-dayang. Setelah itu dayang-dayang pun menghilang. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa royong berasal dari langit dan turun ke bumi bersama dengan datangnya Tomanurung di Gowa. Tradisi ini kemudian dilakukan dalam setiap upacara adat atau ritus orang Makassar, terutama dalam siklus kehidupan manusia.

Sisi lain dari Royong adalah mengenai kepercayaan masyarakat Makassar tentang Fungsi, khasiat dan efek dari royong yang konon dapat menyembuhkan suatu penyakit, menolak bala, dll. Hal ini dapat kita pahami jika melihat kalimat-kalimat royong itu sendiri yang menyerupai sebuah Do’a/harapan kepada Yang Maha Kuasa tentang sesuatu hal.
Pada acara perkawinan royong disajikan sebagai musik vokal dengan syarat dan aturan tersendiri. Adapun sarana penyajian yang harus diperhatikan meliputi tempat, waktu, pemain dan kostum. Tempat pertunjukan royong selalu berada di dua tempat, yaitu ri kale balla (ruang tengah rumah) dan ri bilik buntinga (dalam kamar pengantin khusus pada upacara adat perkawinan). Biasanya tempat vokalis royong bersama dengan musik pengiring ansambel
ganrang pakballe (gendang pengobatan). Jika yang melakukan hajatan adalah kalangan bangsawan, maka dibuatkan tempat khusus untuk pertunjukan royong yang disebut baruga caddi (panggung kecil).

Sebagai sebuah tradisi yang hadir dalam upacara-upacara ritual, pementasan royong penuh dengan kesakralan. Berbagai aturan harus dipatuhi dalam pementasannya, dari tahap persiapan, tempat dan waktu pementasan. Pementasan royong akan terlaksana dengan baik bila aturan-aturan dijalankan. Apabila pelaksanaan royong tidak sejalan dengan adat kebiasaan, misalnya sesajen yang tidak lengkap, biasanya salah satu dari keluarga yang menggelar hajatan akan kesurupan.
Perlengkapan royong meliputi bahan dan peralatan dalam prosesi pementasannya. Bahan yang dimaksud adalah bahan-bahan jajakang, yang terdiri dari :
a) Air bening 1 gelas
b) Tai Bani atau lilin merah dua buah, dimaknai sebagai penerang, baik
untuk pelaksana hajatan maupun pelaksana ritual (pa’royong).
c) Uang sesuai dengan keikhlasan pelaksana hajatan. Uang ini sebagai
simbolisasi pappakalabbiri yang berarti pemberian penghargaan
kepada pelaku ritual atas pekerjaannya.
d) Leko Sikabba (daun sirih satu ikat, beserta kapur) dan Rappo Sikabba
(buah pinang satu ikat). Daun sirih dengan pinang seikat memiliki
makna a’lekoki na’nikillaeki rappo yang mengandung arti bahwa jika
pohon itu berdaun, diupayakan untuk berbuah. Jika melakukan
hajatan, maka pelaksana hajatan mengharapkan apa yang dicitacitakan
dapat terwujud.
e) Pa’dupang (tempat kayu bara untuk membakar kemenyan)
f) Kemenyan
g) Berasa si gantang (beras 4 liter)
h) Gula merah, dan kelapa masing-masing 1 buah
i) Kain putih, sebagai pembungkus peralatan ritual, merupakan simbol
bahwa suatu upacara dimulai dengan kesucian (putih), agar apa yang
diinginkan dapat tercapai dengan baik, dan agar upacara berlangsung
dengan baik
j) Tembakau (rokok)

Tradisi Lisan Royong juga sangat terkait dengan strafifikasi sosial masyarakat etnik Makassar. Dalam masyarakat Makassar dikenal tingkatan sosial masyararat antara lain:

1). kelas atas adalah keluarga raja yang berkuasa (Sombaya),
2). bangsawan (karaeng),
3). masyarakat biasa yang bebas dari perbudakan (Tomaradeka),
4). budak (ata).

Adapun tingkatan royong dikenal adanya: 

1. Royong Bajo yang digelar untuk kalangan/ keluarga raja (sombaya),
2. Royong Karaeng untuk kalangan bangsawan
3. Royong Daeng
Sementara kalangan budak tidak ditemukan jenis royong untuk mereka.

Contoh Syair Royong :
Cui la ilau'mene manri'ba' sikayu-kayu mene situntung-tuntungang ri
passimbangenna Makka, ri alla'na Arapa, ri butta nisingarria
mangaggaang ri sapa, namalo ri Marawa, ada menei makkio', ala kenna
mappasengka, tulusu'mami mantama, attawapa' ri ka'bayya, ha'ji ri
baetullayya, ninio'mi ri sehea, nitayomi ri pakkihia, kurru mae
sumanga'nu, anak battu rite'nea, kutimbangiko doing, kurappoiko
barakka', napappokoki, pakballe iballe nakkilolonna, ilena

gulu'battanna, nasikuntumo numera, teamako ma'je'ne' mate
namate'nemo pa'mai'.




Artikel Terkait:

by Facebook Comment

2 komentar:

  1. blognya bagus...nice info buat nak asli makassar.
    thanks infonya n salam kenal.

    BalasHapus
  2. artikel yang sangat bagus, info bagus buat pemuda makassar, agar melestarikan budaya Makassar.
    mo nitip pesen juga ne, buat pemuda Makassar.
    Bagi rekan soundman, telah hadir kembali di Makassar.
    Training sound sistem, dengan materi lengkap meliputi seluruh perlengkapan live sound.
    dan dengan pengajar berpengalaman, yang telah meluluskan lebih dari 1200 soundMan handal.
    Info, contact : 0411-9175088

    BalasHapus