MASA PRA-ISLAM (ABAD XIV)
Tiap-tiap kerajaan yang ada di dunia pasti mempunyai sistem pemerintahan yang
tersusun sendiri-sendiri. Susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan itu
berbeda-beda dan tidak sama keadaannya.
Begitupun dengan Kerajaan
Gowa. Kerajaan Gowa diperintah oleh seorang raja yang disebut Sombayya (yang disembah,
dimuliakan, dihormati). Selain dari Raja Gowa yang pertama, takhta
Kerajaan Gowa tidak pernah diduduki lagi oleh seorang wanita. Raja Gowa
yang pertama dikenal dengan sebutan Tumanurung Baineya (Tumanurung;
orang yang turun dari langit/kayangan, Baineya;yang perempuan). Menurut
riwayat yang tersebut dalam sejarah Gowa juga hikayat turun temurun dari
rakyat Gowa bahwa Tumanurung turun dari langit karena baginda turun di
daerah bukit Tamalate (tamalate;tidak layu) di Gowa. Maka baginda lazim
juga disebut Manurunga ri Tamalate (Yang turun di Tamalate). Sungguhpun
Raja Gowa yang pertama adalah seorang wanita, namun setelah baginda
mangkat (dalam beberapa hikayat rakyat Gowa diceritakan bahwa baginda
meninggalkan dunia dengan cara mairat/melayang/lenyap secara tiba-tiba
dari tempatnya) tidak pernah lagi takhta kerajaan Gowa diduduki oleh
seorang perempuan.
Raja mempunyai kekuasaan
yang mutlak (absolute). Betapa mutlaknya kekuasaan raja dalam
pemerintahannya dapatlah kita gambarkan pada kata-kata dalam bahasa
Makassar ; “Makkanama’ numammiyo” (aku berkata dan engkau mengiyakan),
maksudnya ; aku bertitah dan engkau hanya mengiyakan saja. Jadi segala
titah atau perintah raja harus dipatuhi dan ditaati. Segala sabda raja
harus dituruti, tidak boleh dibantah sedikitpun. Begitu berkuasanya raja
dalam segala hal, sampai termakhtub dalam ikrar bersama yang diucapkan
pada pelantikan raja atau ratu kerajaan Gowa yang pertama di hadapan
para pembesar kerajaan Gowa diantaranya Paccallaya dan Dewan Adat Bate
Salapanga “Anne nualleku Karaeng akkanama’ numammiyo, anginga’ nuleko’
kayu” artinya ; Engkau telah mengambil aku menjadi raja, aku bersabda
dan engkau mengiyakan, aku adalah angin, engkau adalah daun kayu.
Maksudnya ; Oleh karena kalian telah mengangkatku menjadi raja kalian,
maka segala titahku harus kalian junjung tinggi dan segala kehendak atau
perintahku harus kalian laksanakan.
Dalam
menjalankan pemerintahan, raja dibantu dalam pelaksanaan sehari-hari
oleh seorang pejabat tinggi yaitu ; Tumailalang (tumailalang ; orang di
dalam). Di samping itu, raja juga dibantu oleh sebuah lembaga
“perwakilan rakyat” yang disebut; Bate Salapanga
(Bate;panji/bendera,Salapanga;yang Sembilan). Lembaga ini terdiri dari
Sembilan orang (tokoh) dari Sembilan daerah pendiri dan cikal-bakal
berdirinya kerajaan Gowa yang disebut “Kasuwiang Salapang”
(kasuwiang;pengabdi,salapang;Sembilan). Jabatan Tumailalang diangkat dan
diberhentikan oleh Raja Gowa. Ada juga yang mengatakan bahwa
Tumailalang bertugas menghubungkan secara timbal-balik (double traffic
way) antara pemerintah dalam hal ini raja dengan rakyat Gowa yang
diwakili oleh Dewan Hadat Bate Salapanga. Ada juga diceritakan dalam
sejarah kerajaan Gowa bahwa kedua fungsi timbal-balik itu dijalankan
oleh seorang pejabat yang disebut “Paccallaya”
(paccalla;pencela,paccallaya;orang yang mencela) maksudnya; orang yang
bekerja sebagai pengawas dan penindak apabila ada pelanggaran dan
ketidaksesuaian penyelenggaraan adat, social dan budaya dalam kehidupan
rakyat kerajaan Gowa.
Paccallaya merupakan
jabatan yang dipegang oleh seseorang yang juga bertindak sebagai ketua
Dewan Adat Bate Salapanga, dimana dahulunya sebelum pengangkatan raja
atau ratu Gowa yang pertama, Kasuwiang Salapang membentuk pemerintahan
gabungan (federasi) dimana Paccallaya bertindak sebagai hakim tertinggi
apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa
yang tergabung dalam federasi, yaitu tokoh masyarakat yang berdiri
sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya
masing-masing.
Antara raja (ratu) Gowa yang pertama di
satu pihak serta Bate Salapanga di lain pihak dibuat ikrar dan diadakan
perjanjian. Dalam ikrar telah disebutkan bahwa kekuasaan raja sangatlah
besar dan dalam perjanjian itu disebutkan pula tentang pembagian tugas
dan batas-batas wewenang antara raja yang memerintah di satu pihak
dengan rakyat yang diperintah di lain pihak. Dalam ikrar dan
perjanjian-perjanjian itu dapat dilihat dengan jelas bahwa pada mulanya
pemerintahan kerajaan Gowa mengandung unsur-unsur demokrasi terbatas.
Akan
tetapi lambat laun unsur-unsur demokrasinya menjadi kabur dan falsafah
kerajaan mutlak (absolute monarchie) makin lama makin menonjol. Raja
seolah-olah menguasai hidup dan matinya rakyat. Kehendak raja adalah
undang-undang yang tidak boleh dilanggar apalagi dibantah. Segala titah
raja benar-benar merupakan pencerminan dari “Akkanama’ numammiyo” dan
kata-kata raja itu sangat menentukan segalanya. Bandingkan dengan
kata-kata Kaisar Perancis Louis XIV yang terkenal; “L’etat c’est moi”
artinya ; ”Negara adalah Aku”.
Memang
benar ada lembaga perwakilan rakyat (Bate Salapanga). Akan tetapi
lembaga ini tidak mempunyai arti dan peranan yang lebih daripada apa
yang dimaksudkan dalam bahasa Belanda “Raad van negen kiesheren”
artinya; Majelis Sembilan orang untuk menetapkan dan mengangkat raja,
dalam hal ini dapat dibedakan antara memilih dan mengangkat. Para
anggota Bate Salapanga tidak mempunyai wewenang menyusun undang-undang
ataupun membuat peraturan-peraturan. Mereka tidak memiliki hak untuk
ikut andil dalam penyelenggaraan dan tata pemerintahan di seluruh
pelosok wilayah kerajaan. Mereka harus taat dan wajib menjalankan segala
perintah raja. Bahkan kemudian Bate Salapanga tidak lagi merupakan
badan penasehat, raja memerintah secara sentra birokrasi. Sabda Sombayya
ri Gowa merupakan undang-undang dan garis utama penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan bernegara di kerajaan Gowa. (e-LONTARAK : Anas Faried Daeng Bella, Wahyudin Mas'ud Daeng Muji, Suwandy Mardan Daeng Mamase)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar