AdSense

Jumat, 29 Juni 2012

STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN GOWA (Part. 1)

MASA PRA-ISLAM (ABAD XIV)
 
Tiap-tiap kerajaan yang ada di dunia pasti mempunyai sistem pemerintahan yang tersusun sendiri-sendiri. Susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda dan tidak sama keadaannya.
Begitupun dengan Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa diperintah oleh seorang raja yang disebut Sombayya (yang disembah, dimuliakan, dihormati). Selain dari Raja Gowa yang pertama, takhta Kerajaan Gowa tidak pernah diduduki lagi oleh seorang wanita. Raja Gowa yang pertama dikenal dengan sebutan Tumanurung Baineya (Tumanurung; orang yang turun dari langit/kayangan, Baineya;yang perempuan). Menurut riwayat yang tersebut dalam sejarah Gowa juga hikayat turun temurun dari rakyat Gowa bahwa Tumanurung turun dari langit karena baginda turun di daerah bukit Tamalate (tamalate;tidak layu) di Gowa. Maka baginda lazim juga disebut Manurunga ri Tamalate (Yang turun di Tamalate). Sungguhpun Raja Gowa yang pertama adalah seorang wanita, namun setelah baginda mangkat (dalam beberapa hikayat rakyat Gowa diceritakan bahwa baginda meninggalkan dunia dengan cara mairat/melayang/lenyap secara tiba-tiba dari tempatnya) tidak pernah lagi takhta kerajaan Gowa diduduki oleh seorang perempuan.
Raja mempunyai kekuasaan yang mutlak (absolute). Betapa mutlaknya kekuasaan raja dalam pemerintahannya dapatlah kita gambarkan pada kata-kata dalam bahasa Makassar ; “Makkanama’ numammiyo” (aku berkata dan engkau mengiyakan), maksudnya ; aku bertitah dan engkau hanya mengiyakan saja. Jadi segala titah atau perintah raja harus dipatuhi dan ditaati. Segala sabda raja harus dituruti, tidak boleh dibantah sedikitpun. Begitu berkuasanya raja dalam segala hal, sampai termakhtub dalam ikrar bersama yang diucapkan pada pelantikan raja atau ratu kerajaan Gowa yang pertama di hadapan para pembesar kerajaan Gowa diantaranya Paccallaya dan Dewan Adat Bate Salapanga “Anne nualleku Karaeng akkanama’ numammiyo, anginga’ nuleko’ kayu” artinya ; Engkau telah mengambil aku menjadi raja, aku bersabda dan engkau mengiyakan, aku adalah angin, engkau adalah daun kayu. Maksudnya ; Oleh karena kalian telah mengangkatku menjadi raja kalian, maka segala titahku harus kalian junjung tinggi dan segala kehendak atau perintahku harus kalian laksanakan.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu dalam pelaksanaan sehari-hari oleh seorang pejabat tinggi yaitu ; Tumailalang (tumailalang ; orang di dalam). Di samping itu, raja juga dibantu oleh sebuah lembaga “perwakilan rakyat” yang disebut; Bate Salapanga (Bate;panji/bendera,Salapanga;yang Sembilan). Lembaga ini terdiri dari Sembilan orang (tokoh) dari Sembilan daerah pendiri dan cikal-bakal berdirinya kerajaan Gowa yang disebut “Kasuwiang Salapang” (kasuwiang;pengabdi,salapang;Sembilan). Jabatan Tumailalang diangkat dan diberhentikan oleh Raja Gowa. Ada juga yang mengatakan bahwa Tumailalang bertugas menghubungkan secara timbal-balik (double traffic way) antara pemerintah dalam hal ini raja dengan rakyat Gowa yang diwakili oleh Dewan Hadat Bate Salapanga. Ada juga diceritakan dalam sejarah kerajaan Gowa bahwa kedua fungsi timbal-balik itu dijalankan oleh seorang pejabat yang disebut “Paccallaya” (paccalla;pencela,paccallaya;orang yang mencela) maksudnya; orang yang bekerja sebagai pengawas dan penindak apabila ada pelanggaran dan ketidaksesuaian penyelenggaraan adat, social dan budaya dalam kehidupan rakyat kerajaan Gowa.
Paccallaya merupakan jabatan yang dipegang oleh seseorang yang juga bertindak sebagai ketua Dewan Adat Bate Salapanga, dimana dahulunya sebelum pengangkatan raja atau ratu Gowa yang pertama, Kasuwiang Salapang membentuk pemerintahan gabungan (federasi) dimana Paccallaya bertindak sebagai hakim tertinggi apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang tergabung dalam federasi, yaitu tokoh masyarakat yang berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing.

Antara raja (ratu) Gowa yang pertama di satu pihak serta Bate Salapanga di lain pihak dibuat ikrar dan diadakan perjanjian. Dalam ikrar telah disebutkan bahwa kekuasaan raja sangatlah besar dan dalam perjanjian itu disebutkan pula tentang pembagian tugas dan batas-batas wewenang antara raja yang memerintah di satu pihak dengan rakyat yang diperintah di lain pihak. Dalam ikrar dan perjanjian-perjanjian itu dapat dilihat dengan jelas bahwa pada mulanya pemerintahan kerajaan Gowa mengandung unsur-unsur demokrasi terbatas.
Akan tetapi lambat laun unsur-unsur demokrasinya menjadi kabur dan falsafah kerajaan mutlak (absolute monarchie) makin lama makin menonjol. Raja seolah-olah menguasai hidup dan matinya rakyat. Kehendak raja adalah undang-undang yang tidak boleh dilanggar apalagi dibantah. Segala titah raja benar-benar merupakan pencerminan dari “Akkanama’ numammiyo” dan kata-kata raja itu sangat menentukan segalanya. Bandingkan dengan kata-kata Kaisar Perancis Louis XIV yang terkenal; “L’etat c’est moi” artinya ; ”Negara adalah Aku”.
Memang benar ada lembaga perwakilan rakyat (Bate Salapanga). Akan tetapi lembaga ini tidak mempunyai arti dan peranan yang lebih daripada apa yang dimaksudkan dalam bahasa Belanda “Raad van negen kiesheren” artinya; Majelis Sembilan orang untuk menetapkan dan mengangkat raja, dalam hal ini dapat dibedakan antara memilih dan mengangkat. Para anggota Bate Salapanga tidak mempunyai wewenang menyusun undang-undang ataupun membuat peraturan-peraturan. Mereka tidak memiliki hak untuk ikut andil dalam penyelenggaraan dan tata pemerintahan di seluruh pelosok wilayah kerajaan. Mereka harus taat dan wajib menjalankan segala perintah raja. Bahkan kemudian Bate Salapanga tidak lagi merupakan badan penasehat, raja memerintah secara sentra birokrasi. Sabda Sombayya ri Gowa merupakan undang-undang dan garis utama penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara di kerajaan Gowa. 

 (e-LONTARAK : Anas Faried Daeng Bella, Wahyudin Mas'ud Daeng Muji, Suwandy Mardan Daeng Mamase)

Artikel Terkait:

by Facebook Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar