AdSense

Jumat, 06 Juli 2012

Menengok Kampung Macassar di Cape Town


Cape Town - Macassar Rd. Tulisan itu terpampang pada papan penunjuk jalan di perempatan jalan di Baden Powell Drive, sekitar 40 kilometer dari pusat kota. Berkendaraan tak kurang dari 5 menit mengikuti arah anak panah itu, saya pun sampai di sebuah kompleks perumahan di kaki sebuah bukit kecil.

Di salah satu tembok rumah bercat putih terlihat tulisan "Warung Kopi, coffee shop-take-aways & catering". Sayangnya, warung itu tutup.

Senin itu, saya tak sedang berada di Indonesia, tapi di Kampung Macassar di Cape Town, Afrika Selatan. Di lereng bukit kecil itu ada sebuah kompleks pemakaman. Itulah tempat pemakaman Syekh Yusuf, penyebar agama Islam yang berasal dari Gowa, Makassar. Karena sosok ini pulalah tempat itu dinamai Kampung Macassar.

Selain makam yang terletak di dalam sebuah bangunan beratap serupa kubah masjid, di tempat itu ada monumen. Di sana tertulis bahwa peletakan batu pertama kompleks pemakaman itu dilakukan oleh Sir Frederic de Waal, Administrator Provinsi Cape yang pertama, pada 19 Desember 1925. Tapi pembangunan dilakukan oleh Hajee Sulaiman Shah Mohammed dan anak-anaknya.

Pada dinding luar bangunan makam ada juga sebuah prasasti tentang kunjungan Presiden Soeharto (almarhum) ke tempat itu pada 21 November 1997, menyusul penganugerahan gelar pahlawan nasional Indonesia bagi Syekh Yusuf pada 7 Agustus 1995.

Makam ini dianggap sebagai salah satu keramat (tempat suci) bagi muslim di Afrika Selatan, yang jumlahnya mencapai 2 juta orang. Orang yang hendak menunaikan haji biasanya berziarah dulu dan berdoa di makam itu. Tapi jumlah peziarah akan membeludak setiap bulan April, bertepatan dengan liburan Paskah, sehingga kerap disebut sebagai Easter Festive.

Di luar kompleks makam itu, di bagian bawah bukit, ada juga Masjid Nurul Latif. Pada sebuah prasasti batu di luar masjid disebutkan tempat itu sempat direnovasi berkat bantuan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002.
Saya sempat bertemu dengan delapan pemuda berwajah melayu di masjid itu. Mereka baru sehari di tempat itu dan mengaku selalu mengunjungi masjid demi masjid di Afrika Selatan untuk berdakwah.

Keberadaan nama Soeharto dan Megawati di Kampung Macassar menggambarkan betapa Syekh Yusuf ini memiliki tempat istimewa di mata Indonesia. Syekh ini memang erat terkait dengan Indonesia.

Tokoh yang memiliki nama lengkap Abidin Tadia Tjoessoep itu lahir di Makassar pada 1626. Karena berjuang menentang penjajah Belanda, ulama keturunan bangsawan itu diasingkan ke Cape Town pada 1964. Di kota ini ia justru menjelma menjadi penyebar Islam berpengaruh di kalangan para budak asal Indonesia dan Malaysia. Distrik tempat ia semula diasingkan itulah yang kini menjelma jadi Kampung Macassar.

Istilah kampung cukup tempat menggambarkan tempat itu. Hanya ada 35 keluarga di tempat itu, mayoritas merupakan Cape Malay. Istilah Cape Malay biasanya digunakan untuk menyebut warga keturunan Melayu, yang jumlahnya mencapai 160 ribu orang di Cape Town.

Di kompleks pemakaman Syekh Yusuf itu saya bertemu dengan Zain Philander alias Zianal Abidin. Ia bermoyang orang Padang. Ia pun mengaku pernah diamanati secara lisan oleh beberapa tokoh asal Indonesia untuk menjaga makam Syekh Yusuf.

Ia pun lantas mengajak saya ke rumahnya sejauh lima menit berjalan kaki dari makam itu. Rumahnya menyatu dengan penginapan dengan 16 kamar. Pada dinding penginapan itu ia memajang banyak pernik tenang Indonesia. Ada lukisan Sultan Hasanuddin, peta Indonesia, juga hiasan kapal pinisi.

Berkaitan dengan Syekh Yusuf, ia juga menggantung piagam ihwal penunjukan tokoh itu sebagai pahlawan nasional yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 7 Agustus 1995. Juga ada piagam penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Tabo Mbeki pada 2005 berupa The Order of Supreme Companions of OR Tambo (Gold).

"Ini menunjukkan bahwa Syekh merupakan orang yang dihormati di Afrika Selatan dan Indonesia," kata Zain.
Pria ini hafal beberapa istilah bahasa Indonesia, seperti apa kabar, terima kasih, jalan-jalan, sate, dan nasi goreng. Ia juga tahu lumayan cukup banyak tentang Indonesia, meski mengaku belum pernah berkunjung.

Ia sempat menyekolahkan putrinya, Haajirah Philander-Fanie, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan lulus dua tahun lalu. "Saya sendiri sangat berharap mengunjungi negara Anda. Isya Allah suatu saat saya akan pergi," katanya.

Bersama komunitas Cape Malay saat ini, ia tengah menyiapkan sebuah perpustakaan dan showroom produk Indonesia bernama Istana Balla Lompoa, tak jauh dari Masjid Nurul Latif. Tempat itu dirancang berbentuk rumah tradisional Makassar.

Indonesia akan membantu pembangunannya. Bupati Gowa akan datang ke kota ini dengan membawa bahan bangunan knocked-down langsung dari Makassar. Tempat itu diharapkan rampung saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi tempat itu pada akhir tahun ini.

Selain Kampung Macassar, komunitas Cape Malay banyak terdapat di daerah Bokaap, dekat pusat Kota Cape Town. Saya sempat mengunjungi Masjid Auwal, salah satu dari 12 masjid di distrik itu. Inilah masjid pertama di Afrika Selatan yang didirikan oleh Tuan Guru atau Abdullah Kadi Abdus Sallam pada 1794.

Tuan Guru adalah pejuang Indonesia kelahiran Tidore yang juga diasingkan Belanda ke Afrika Selatan dan sempat dibui di Robben Island. Di penjara itu ia menulis Al-Quran semata mengandalkan hafalannya dan hanya ada enam kesalahan dalam tulisannya itu. Sayang, kini mushaf tulisannya agak rusak dan tengah berusaha diperbaiki.

Saya sempat bertemu dengan imam di masjid itu, Muhammad Faadil Soekir, 73 tahun. Ia dengan ramah menyalami saya. "Selalu menyenangkan untuk bertemu teman dari Indonesia," katanya.

Ia menyatakan keberadaan masjid dan penyebaran Islam di daerah itu tak lepas dari Tuan Guru. "Saya pun sangat ingin pergi melihat tempat kelahiran Tuan Guru. Tapi masih harus bekerja keras untuk mengumpulkan uang," katanya sambil tersenyum.
TEMPO Interaktif
Nurdin Saleh (Cape Town)


Artikel Terkait:

by Facebook Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar