Dari segi
hukum internasional setidak-tidaknya ada dua hal yang membawa pengaruh besar
terhadap Perang Makassar (1660-1670) yaitu pengaruh dari Perjanjian Westhpalia
1648 dan yang kedua adalah pengaruh dari perkembagan doktrin Hugo Grotius
Eropa. Dua peristiwa ini membawa pengaruh atas Bangsa-bangsa Eropa pada abad
pertengahan. Perjanjian Westhapalia merupakan perjanjian yang
mengakhiri perang tiga puluh tahun yang sudah berlangsung di Eropa dari Tahun
1618 sampai Tahun 1648 yang merupakan perang dalam bentuk perseteruan agama,
Katolik dan Protestan. Hampir semua negara terlibat dalam perang tiga puluh
tahun tersebut. Salah satu klusula dalam deklarasi Osnanbruck Swedia dalam
perjanjian Westhpalia tersebuat adalah diakuinya eksistensi protestanisme dalam
tradisi kristen yang sudah banyak dianut di Jerman, Nederland, Inggris,
Perancis dan sebagainya. Sementara itu dalam deklarasi tersebut dikemukakan
bahwa negara-negara Eropa di manapun mereka membawa koloninya tidak boleh
berperang maka akan menerima sanksi berdasarkan perjanjian Westhpalia (Katolik
dan Protestan) harus saling menghormati dimanapun mereka berada, di
daerah-daerah koloni mereka sekalipun.
Isi perjanjian ini kemudian membawa pengaruh sampai ke
daerah-daerah koloni Eropa di Timur. Situasi rekonsialisi Eropa di Timur.
Situasi rekonsialiasi oleh akibat langsung Westhpalia membawa kepada pembagian
wilayah-wilayah koloni jajahan. Timur misalnya dalam satu perjanjian di
Heidebart, India, dibagi menjadi dua bagian yaitu India Barat (West India) dan
India Timur (East India). Perjanjian Heidebart ini bukanlah perjanjian India
sesudah Perang Dunia II yang sudah membagi India Barat dan India Timur yang
kemudian menjadi Pakistan, tetapi perjanjian pembagian koloni jajahan antara
Inggris dan Nederland dimana Inggris mendapatkan India Barat yang terdiri
wilayah-wilayah seluruh India sebelum terpecah (India, Paksitan, Bangladesh,
Kolombo) dan lain sebaginya sedangkan Nederland mendapatkan wilayah koloni di
India Timur (East India) yang terdiri seluruh wilayah Indonesia sekarang. Pada
jamannya Nederland memberinya nama dengan Oost Indies.
Dengan latar belakang perjanjian Westhpalia dan
perjanjian Heidebart inilah Nederland berusaha semakin merapatkan monopoli
keuasaannya atas seluruh wilayah India Timur atau Oost Indies. Portugis yang
sudah lama rajin menjalin hubungan raja-raja di Timur Oost Indies seperti
Maluku, Sulawesi dan Timor tentu saja tidak ingin megakui deklarasi Heidebart
itu karena memang Portugis tidak disertakan. Malahan menganggapa sebagai
persekongkolan antara inggris dan nederland. Portugis memperotes isi
deklarasi itu, tetapi faktor inggris ini unik, karena meras diikiat oleh
deklarasi heiderabat dia hanya bisa berdagang di Oost indies sambil berusaha
mencipatkan ondisi politis bersama kawan-kawan eropanya yang lain. Bahw ayang
masuk dalam kategori oost indie hanyalah java dan andalas, sedangkan seluruh
wilayah timur Oost indies tidak tergolng sebagai wilayah Oost indies. Khususnya
suatu kerajaan besar dan makmur dan sudah menanamkan imperium di sekuruh
wilayah timur yaitu kerajaan Gowa
Jauh sebelum kedua perjanjian ini (Westhpalia dan Heiderabart) dideklarasikan, kerajaan gowa sudah muncul menjadi suatu kerajaan maritim besar dan merupakan bandar niaga maritim besar. Inggris sudah lama mejalin hubungan dgang dengan kerajaan ini. Lebih dari itu inggris menganggap bahwa kerajaan gowa ini tidak termasuk dalam klausul perjanjian Heiderabat.
Jauh sebelum kedua perjanjian ini (Westhpalia dan Heiderabart) dideklarasikan, kerajaan gowa sudah muncul menjadi suatu kerajaan maritim besar dan merupakan bandar niaga maritim besar. Inggris sudah lama mejalin hubungan dgang dengan kerajaan ini. Lebih dari itu inggris menganggap bahwa kerajaan gowa ini tidak termasuk dalam klausul perjanjian Heiderabat.
Sekalipun perjanjian heidebart telah ada dan mengikat
anatara belanda dan inggris tetapi tidak mengurangi persaingan keduanya sebagai
negara penaluk dan berkekuatan besar di lautan. Mereka bahkan seringkali
bererang di lautan dan yang terbesar diantaranya perang cape hope bay,
afrik bagian selatan (1652-1654) dan perang selat Hindi (1664-1667). Perang
yang terakhir inilah yang berimbas langsung terhadap perang makassar karena
salah seorang admiral belanda yang memawa kemenagan dalam perang selat hindi
beranama admiral Cornelius Jancoon Speelman ditarik dari India ke Batavia untuk
penaklukan Gowa yang banyak dibantu oleh Inggris dan Perancis bersama
beberepa negara Eropa lainnya.
Dalam pada itu segi-segi hukum perang tidak banyak
diungkapkan sebagai implikasi dari Perang Makassar padahal perang yang
berlangsung selama 10 Tahun (1660-1670) ini merupakan perang yang
terbesar di Asia tenggara (East Indie).
Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum hukum perang termasuk hukum perang hal ini sangat penting. Skepstisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. Apakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam perang Makassar bukan negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasonal melainkan Perompak dan Bajak laut ? menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temparamen yang sempit tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan argumentasi hukum kenegaraan dan hukum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan Perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh kompeni VOC dalam banyak tulisan ? apakah kompeni VOC satu-satunya negara yang beradab dengan tradisi kristen protestan yang penuh di India Timur abad ke 17 ? apakah kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa etika kenegaraan sopan santun dan tata krama dalam perang ?
Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum hukum perang termasuk hukum perang hal ini sangat penting. Skepstisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. Apakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam perang Makassar bukan negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasonal melainkan Perompak dan Bajak laut ? menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temparamen yang sempit tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan argumentasi hukum kenegaraan dan hukum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan Perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh kompeni VOC dalam banyak tulisan ? apakah kompeni VOC satu-satunya negara yang beradab dengan tradisi kristen protestan yang penuh di India Timur abad ke 17 ? apakah kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa etika kenegaraan sopan santun dan tata krama dalam perang ?
Perang Makassar
Perhatian yang kompherensif terhadap hukum perang berdasarkan penelusuran relatif masih kurang. Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Pollinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun) agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum perang tentang perang Makassar. Padahal melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Barangkali inilah beban yang sedikit berat yang akan dialami para Penulis ini mengingat karena kurangnya data-data. Adalah sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas. Sebagai contoh beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana: kasus perbudakan mengenai penggalian Kanal Tallok, kasus pembantaian (holocoust) di Pulau Banda. Kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Liwoto, Selat Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu 1669, kasus pembumihangusan Benteng Tosora 1670. Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai refrensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan kompherensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban tentang pembantaian tawanan di Pulau Liwoto (sekarang pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar Kota Bau-bau saling berbeda antara Matulada dan Andaya. Dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan, Mattulada mematok jumlah korban pembantaian di pulau kecil itu sebanyak 9000 orang. Sedangkan dalam bukunya Andaya, the Herritage of Arung Palakka, dituliskan dengan jumlah 5000 orang korban. Jumlah mungkin tidak penting, tetapi untuk keperluan penelitian diperlukan data-data eksistensial yang akurat.
Perhatian yang kompherensif terhadap hukum perang berdasarkan penelusuran relatif masih kurang. Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Pollinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun) agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum perang tentang perang Makassar. Padahal melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Barangkali inilah beban yang sedikit berat yang akan dialami para Penulis ini mengingat karena kurangnya data-data. Adalah sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas. Sebagai contoh beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana: kasus perbudakan mengenai penggalian Kanal Tallok, kasus pembantaian (holocoust) di Pulau Banda. Kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Liwoto, Selat Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu 1669, kasus pembumihangusan Benteng Tosora 1670. Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai refrensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan kompherensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban tentang pembantaian tawanan di Pulau Liwoto (sekarang pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar Kota Bau-bau saling berbeda antara Matulada dan Andaya. Dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan, Mattulada mematok jumlah korban pembantaian di pulau kecil itu sebanyak 9000 orang. Sedangkan dalam bukunya Andaya, the Herritage of Arung Palakka, dituliskan dengan jumlah 5000 orang korban. Jumlah mungkin tidak penting, tetapi untuk keperluan penelitian diperlukan data-data eksistensial yang akurat.
Masih sehubungan dengan hal diatas beberapa sumber
pada tingkat observasi ditemukan beberapa tempat yang memiliki nama yang sama
yaitu; Kanre Apia (Makassar) atau Kanre Api (bugis) atau Kande Api (Mandar)
merupakan nama-nama yang berhubungan implikasi hukum perang
Makassar. Kanre Apia yang terdapat di Desa Lembanna, kecamatan
Tinggimoncong, Kabupaten Gowa memiliki karakter peristiwa yang sama dengan
Kande Api di Kabupaten Majene serta Kandre Api di Kabupaten maros. Kanre Api
artinya pembakaran kampung atau tempat atau logistik merupakan tindakan
pembumihangusan yang dilakukan oleh pasukan Arung Palakka dalam rangka blokade
atau meruntuhkan tentang Gowa agar tidak lagi melakukan perlawanan. Tradisi
pembakaran kampung kadang-kadang disertai dengan pembakaran hidup-hidup orang
yang masih loyal terhadap musuh merupakan hukum alam yang berlaku dalam perang.
Selain tradisi Kanre Apia (pembumihangusan) maka
terdapat tradisi perang lain dalam peperanga klasik di abad ke 17 yaitu tradisi
pemenggalan kepala bagi pemimpin tentara (Lasykar). Tradisi ini dikenal selama
berlangsungnya perang Makassar sebagai Tunibatta (Makassar), Todipolong
(Mandar), Todigerek (bugis). Banyak pemimpin perang kedua bela pihak mengalami
eksekusi seperti ini dan hal ini nampaknya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam
perang. Sama dengan tradisi Kanre Apia, dalam tradisi Tunibatta adalah merupakan
salah satu bentuk untuk meruntuhkan moral tentara yang dipimpinnya. Malahan
seringkali kepala pemimpin perang yang dikenal kharismatik diambil sebagai
hadiah buat raja untuk mendapatkan pengakuan bahwa sang pemimpin sudah
dikalahkan dalam perang.
Sesungguhnya tradisi Kanre Apia Dan Tunibatta pada
abad ke 17 sudah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional. Tradisi hukum
perang klasik seperti itu berlaku universal tidak saja terjadi pada perang
Makassar. Dalam rangkaian peperangan pada masa Imperium Roma (Roman Empire)
tradisi hukum perang ini telah terjadi. Hal ini agaknya sudah menjadi legalitas
umum dalam rangkaian peperangan dimasa imperium Roma. Pernyataan kekalahan
dalam perang senantiasa disertai dengan tindakan perlambang kekuasaan bagi pemenang
perang, apakah dengan cara pembakaran kota atau wilayah yang dikalahkan dalam
peperangan, ataukah dengan cara memenggal kepala panglima perang untuk
diserhakan kepada Kaisar (dalam catatan Cicero, 1954: 4-5).
Kelihatannya legalitas penghukuman seperti ini memang
kejam tetapi tentu saja pada masa itu belum ada hukum-hukum perang yang lebih
manusiawi apalagi dengan Konvensi Internasional tentang perang, seperti
Konvensi Jenewa 1940. Prinsip-prinsip hukum perang yang berlaku adalah
prinsip-prinsip perang yang adil. Dalam Estimasi Cicero (1954: 7) yang
dimaksudkan dengan perang yang yang adil pada Rus Romanium adalah menjalankan
prinsip-prinsip resiprositas. Prinsip lain agaknya belum ada. Resiprositas di
sini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai balas dendam. Karena cara-cara
yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan yang adil. Sebagai contoh apabila
musuh membunuh delapan orang prajurit maka pihak lain pun akan membalasnya
dengan jumlah yang sama.
Pertanyaan apakah tradisi hukum perang klasik Romawi juga berlaku sepanjang perang Makassar ? tidak ada studi khusus yang terfokus terhadap hubungan ini. Tetapi hubungan hukum antara hukum Belanda (yang dipakai oleh VOC) dengan hukum Romawi sangat erat kaitannya, dapat menjadi skpetisisme tersendiri untuk membongkar kaitan ini. Apalagi munculnya pemikiran besar dari Hugo Grotius tahun 1648 dipandang banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Cicero tentang perang yang adil. Jika menelusuri latar belakang lahirnya hukum belanda maka tidak bisa lepas dari hukum Romawi.
Pertanyaan apakah tradisi hukum perang klasik Romawi juga berlaku sepanjang perang Makassar ? tidak ada studi khusus yang terfokus terhadap hubungan ini. Tetapi hubungan hukum antara hukum Belanda (yang dipakai oleh VOC) dengan hukum Romawi sangat erat kaitannya, dapat menjadi skpetisisme tersendiri untuk membongkar kaitan ini. Apalagi munculnya pemikiran besar dari Hugo Grotius tahun 1648 dipandang banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Cicero tentang perang yang adil. Jika menelusuri latar belakang lahirnya hukum belanda maka tidak bisa lepas dari hukum Romawi.
Terdapat banyak catatan menarik mengenai pengaruh
hukum Romawi terhadap hukum Eropa pada umumnya dan hukum Belanda pada
khususnya, tetapi paling penting diantaranya adalah apa yang dicatat oleh
Rene Daniel sebagai kelompok keluarga hukum Romawi Germania (Maramis, 1994:
17), pengaruh hukum publik terutama hukum internasional pidana dan tata negara
agaknya tidak teradaptasi dari hukum Romawi lebih dari hukum perdata (sipil)
kebanyakan teradaptasi adalah hukum sipil yang lebih dikenal dengan Ius Civil.
Hal ini tidak lepas dari sejarah imperium roma itu sendiri.
Hiruk Pikuk Deklarasi Bongaya
Seberapa jauh penggambaran pengaruh-pengaruh hukum romawi dalam sistem hukum perang klasik selama perang Makassar. Jika membaca referensi yang menggambarkan kejadian dalam perang maka terasa sekali pengaruh-pengaruh itu ada. Sebagai contoh dalam praktek resiprositas tentang karangnya kapal Belanda De Walvis tahun 1662 dan De Leeuwin tahun 1664 (F.W. Stapel, 1922; Abdurrazak Daeng Patunru, 1967: Leonard Y. Andaya, 1981; Mattulada, 1991).
Seberapa jauh penggambaran pengaruh-pengaruh hukum romawi dalam sistem hukum perang klasik selama perang Makassar. Jika membaca referensi yang menggambarkan kejadian dalam perang maka terasa sekali pengaruh-pengaruh itu ada. Sebagai contoh dalam praktek resiprositas tentang karangnya kapal Belanda De Walvis tahun 1662 dan De Leeuwin tahun 1664 (F.W. Stapel, 1922; Abdurrazak Daeng Patunru, 1967: Leonard Y. Andaya, 1981; Mattulada, 1991).
Kapal Belanda De Walvis yang berlayar dari Batavia
menuju Maluku tahun 1662 memasuki perairan Makassar dan kandas di atas sebuah
gunung di lautan Makassar. Orang-orang makassar yang mengejar kapal itu dapat
menyita 16 pucuk meriam dari kapal itu. Kemudian Belanda menuntut kepada Sultan
Hasanuddin agar mengembalikan meriam-meriam itu, akan tetapi tuntutan itu
ditolak oleh Sultan berhubung waktu itu antara kerajaan Gowa dengan Belanda
masih dalam keadaan perang (Patunru, 1967: 48).
Mattulada (1991: 78) secara menarik membelah kasus ini dalam dua versi yaitu dalam versi Belanda dan versi Makassar. Menurut versi Belanda dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda De Walvis namanya, terdampar di perairan Makassar. Kapal yang terdampar ini dirampok oleh orang-orang Makassar. Enam belas pucuk meriam jatuh ke dalam tangan seorang Rijkgraten (pembesar kerajaan) dan tidak mau mengembalikannya.
Mattulada (1991: 78) secara menarik membelah kasus ini dalam dua versi yaitu dalam versi Belanda dan versi Makassar. Menurut versi Belanda dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda De Walvis namanya, terdampar di perairan Makassar. Kapal yang terdampar ini dirampok oleh orang-orang Makassar. Enam belas pucuk meriam jatuh ke dalam tangan seorang Rijkgraten (pembesar kerajaan) dan tidak mau mengembalikannya.
Meurut versi Makassar, dalam tahun 1661, ada sebuah
kapal Belanda bernama De Walvis, memasuki batas perairan Makassar tanpa
pemberitahuan lebih dahulu. Kapal disergap oleh kapal-kapal pengawal pantai
kerajaan Gowa di perairan Makassar. Kapal itu sesungguhnya dikejar dalam
wilayah kedaulatan Perairan Makassar, namun karena tidak mengetahui letak-letak
kerajaan Gowa, maka kapal itu disita dan enam belas pucuk meriam yang
dipergunakan dalam melakukan perlawanan itu disita oleh pemerintah kerajaan
Gowa.
Sementara itu, insiden kapal De Leeuwin terjadi dua
tahun kemudian, 24 Desember 1664. Kapal Belanda De leeuwin yang dahulu telah
membawa Arung Palakka dan kawan-kawannya dari Buton ke Batavia, kandas di Pulau
Doang-Doang. Kapal ditahan oleh Armada Gowa yang menjaga perairan Makassar
untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Gowa. Dari anak-anak buah kapal itu
ada 40 orang yang masih hidup diangkat oleh orang-orang Makassar ke Somba Opu.
Akan tetapi kemudian dari pihak Belanda menyampaikan tuduhan bahwa dari
atas kapal itu ada sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit
yang telah disita oleh orang-orang Makassar. Berhubungan dengan tenggelamnya De
Leeuwin, maka Onder-koopman Belanda yang bernama Ir. Cornelius Kuyff bersama 14
orang anak buahnya berangkat ke tempat di mana kapal itu kandas untuk memeriksa
sendiri keadaan kapal itu, akan tetapi kepergiannya ke sana tidak diketahui dan
tidak seizin Sultan. Baru saja mereka itu tiba di sana, maka pasukan kerajaan
Gowa yang menjaga tempat itu memerintahkan supaya orang-orang Belanda itu
menyerah, akan tetapi mereka itu menolak, bahkan mengadakan sehingga terjadi pertempuran
yang mengakibatkan habis terbunuh semua oleh tentara Gowa (Patunru, 1967: 44).
Insiden De Walvis dan De leeuwin ini menarik, karena
insiden inilah yang dipandang sebagai implemetasi dari azas-azas resiprositas
yang diacu oleh Belanda dari hukum Romawi (azas ius gentium dan ius generale).
Insiden ini menjadi pasal paling krusial diperbincangkan dalam perjanjian
Bongaya tahun 1667. Untuk menekankan pentingnya azas resiprositas ini Belanda
memajukan khusus dua pasal dalam perjanjian Bongaya yaitu:
Pasal
3: bahwa kepada kompeni akan diserahkan dan dikembalikan semua
perlengkapan kapal, meriam-meriam, mata uang-mata uang, dan barang lainnya
tanpa kecuali, yang disita dari kapal de Walvis di pulau Selayar dan kapal yang
karam di Pulau Doang-doang.
Pasal 4: bahwa akan dilaksanakan secepatnya proses peradilan di hadapan dan dilaksanakan oleh presiden Makassar terhadap orang-orang yang bersalah dan masih hidup karena melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di tempat-tempat yang berbeda itu.
Pasal 4: bahwa akan dilaksanakan secepatnya proses peradilan di hadapan dan dilaksanakan oleh presiden Makassar terhadap orang-orang yang bersalah dan masih hidup karena melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di tempat-tempat yang berbeda itu.
Pasal-pasal ini mejadi gempar dan terjadi keributan
dan kepanikan bahkan beberapa petinggi Gowa mencabut badik berteriak-teriak
menghujat pasal yang tidak adil ini. Sesungguhnya pasal ini telah dirundingkan
setahun sebelumnya, 17 Desember 1666. Perundingan berlangsung di atas sebuah
kapal Belanda yang bernama Tertholen, di perairan Tana Keke (Andaya, 1981: 73).
Dua orang bangsawan Gowa datang ke kapal dengan maksud baik untuk berdamai
sambil membawa 1.056 emas sebagai tebusan atas terbunuhnya orang Belanda di pulau
Doang-doang dari insiden De Walvis dan 1435 ringgit Belanda yang diambil dari
bangkai kapal De Leeuwin. Reaksi Speelman kemudian meminta utusan itu untuk
mengirim suratnya, mereka menolak dengan mengatakan sampai mati pun mereka
tidak akan melakukannya karena mereka hanya diperintah untuk mengantar uang
itu, dan tidak untuk lainnya.
“Darah dibayar dengan darah, tidak dengan uang !”,
dalam pernyataan Admiral Cornelius Jancoon Speelman ini nampak arogan dan
menantang, namun itulah karakter pencapaian azas resiprositas yang berlaku.
Selain tentunya pengembalian harga diri bangsa. Penyitaan dua kapal tersebut
disertai dengan pembunuhan dan penawanan anak-anak buah kapal dipandang
telah menjatuhkan harga diri dan martabat Belanda serta merupakan
tindakan pelecehan. Selain itu bertentangan dengan perjanjian yang telah
disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660. Oleh karena itu Belanda menuntut
pengembalian harga diri tersebut.
Perdebatan panas tentu saja tidak bisa dihindari
karena para perunding Gowa yang disangsikan langsung oleh Sultan Hasanuddin
menolak mentah-mentah usulan dua pasal ini. Andaya (1981: 76) menggambarkan
perundingan panas ini berlansung selama enam hari dan separuh waktu dihabiskan
memperkarakan dua klausul tentang insiden kapal De Walvis dan De Leeuwin ini.
Perundingan ini awalnya dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin dari pihak
Gowa dan Speelman dari pihak Belanda. Tetapi karena faktor komonikasi bahasa,
maka ditetapkan karaeng Karunrung sebagai juru runding. Sekalipun Karaeng
Karunrung tidak sehebat ayahnya, Karaeng Pattingaloang, dalam soal
bahasa-bahasa Eropa, namun Karaeng Karunrung sangat fasih dalam dua bahasa
Portugis dan Inggris. Disepakati dipergunakan bahasa Portugis.
Dalam Kronik Entje Amin (Skinner, 1967: 178-180)
digambarkan bahwa sesungguhnya Speelman fasih juga dalam bahasa Inggris, namun
ajakan Karaeng Karunrung untuk menggunakan bahasa Inggris dalam perundingan
ditolak oleh Speelman. Penolakan itu bukan karena ketidakfasihan Speelman
melainkan lebih karena kebenciannya yang mendalam terhadap orang-orang Inggris
yang menjadi lawannya berperang dalam perang di Teluk Benggali (selat Hindi)
India, penugasan sebelumnya ketika kemudian ditarik untuk memimpin tentara
Belanda Makassar yang digambarkannya lebih ganas dari perang Teluk Benggali.
Sesungguhnya tuntutan Belanda Pasal 3 perjanjian
Bongaya bisa dilakukan oleh Gowa untuk mengembalikan semua barang-barang yang
disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang disita dari kapal
termasuk ganti kerugian barang-barang yang telah hancur dan sekalipun tuntutan
itu berlebihan. Tetapi Pasal 4 sangat berat dilaksanakan oleh pemerintah Gowa.
Orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyergapan kapal itu
serta pembunuhan dan penahanan awaknya merupakan prajurit-prajurit resmi gowa
yang menjalankan perintah komandan mereka. Beberapa nama yang masuk dalam
daftar tuduhan Belanda adalah bangsawan-bangsawan utama kerajaan Gowa, beberapa
diantaranya menjadi saksi dalam perundingan ini. Secara rahasia Karaeng
Karunrung meminta daftar pencarian orang (DPO) buatan Speelman dan karaeng
karunrung kaget melihat daftar itu. Karena selain Itanrawa RI Ujung Karaeng
Bontomarannu (Panglima perang kerajaan Gowa yang ditakuti dengan sebutan Del
Monte Maranno) bersama raja Bima, Raja luwu, arung Matoa Wajo, Raja Balanipa
(Mandar), Raja Tambara, Raja Sanggar serta Karaeng Dompo (Dompu), yang semuanya
ditempatkan dalam pasal tersendiri (Pasal 15), juga terdapat beberapa bangsawan
yang ikut serta mengawal perundingan ini. Serta Karaeng Karunrung menolak pasal
ini, karena yang dituduhkan Belanda dalam DPO tersebut adalah panglima-panglima
kerajaan Gowa yang sama sekali tidak terlibat dalam penyergapan itu, tetapi
kebanyakan penentu kebijaksanaan, menyerahkan orang-orang ini sama saja
menggerogoti kekuatan perang Kerajaan Gowa. Lagi pula mereka ini tidak dapat
dituntut sebagai pelaku pembunuhan karena situasinya dalam perang
(Mattulada,1991: 89).
Kesimpulan
Amar yuridis menyangkut interpretasi kedua klausul krusial dalam perjanjian Bongaya ini adalah alasan-alasan kedua belah pihak.
Pihak Belanda memandang bahw a tindakan itu perampokan (phiracy), perampasan dan pembunuhan karena kedua kapal itu melakukan transit serta membuang jangkar dengan damai di peraiaran bebas, di luar tapal-batas perairan kedaulatan Gowa. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernyataan perang lebih dahulu dan hal ini melanggar kebiasaan perang (secara internasional) yang berlaku. Lebih dari itu serangan ini merupakan pelanggaran terhadap azas perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660 sebagaimana kesepakatan yang telah tertuang dalam Pasal 2 perjanjian Bongaya.
Amar yuridis menyangkut interpretasi kedua klausul krusial dalam perjanjian Bongaya ini adalah alasan-alasan kedua belah pihak.
Pihak Belanda memandang bahw a tindakan itu perampokan (phiracy), perampasan dan pembunuhan karena kedua kapal itu melakukan transit serta membuang jangkar dengan damai di peraiaran bebas, di luar tapal-batas perairan kedaulatan Gowa. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernyataan perang lebih dahulu dan hal ini melanggar kebiasaan perang (secara internasional) yang berlaku. Lebih dari itu serangan ini merupakan pelanggaran terhadap azas perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660 sebagaimana kesepakatan yang telah tertuang dalam Pasal 2 perjanjian Bongaya.
Pihak Gowa menilai bahwa perjanjian tahun 1660 itu
dengan sendirinya telah tereliminir arena Belanda sendiri dipandang telah
menyatakan perang setelah melakukan pembantaian di Pulau Banda Februari 1661
karena penduduk Banda masih merupakan federasi protektorat dari Gowa. Bukan
saja pembantaian di pulau Banda yang menjadi musabab timbulnya perang
antara Belanda dan Gowa, melainkan Blokade yang dilakukan kapal-kapal belanda
terhadap kapal-kapal asing lainnya (terutama kapal dagang Inggris) yang menjadi
sahabat Gowa serta kapal-kapal Gowa sendiri di perairan laut bebas menjadi
isyarat bagi Gowa bahwa perjanjian tahun 1660 sudah tidak berlaku lagi dan
dengan demikian perang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan demikian
perang sudah dinyatakan oleh Belanda.
Alasan yang kedua dalam interpretasi Gowa adalah bahwa
kedua kapal itu tidak melintas dengan damai tetapi melakukanka perlawanan.
Pasukan pengawal pantai kerajaan Gowa diperintahkan untuk memeriksa kapal itu
karena telah berada dalam perairan kedaulatan Gowa tetapi mereka memperlihatkan
isyarat untuk berperang, padahal sultan Gowa sudah meminta pengawal Pantai
Menanya baik-baik apa tujuan mereka berlabuh di perairan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar