AdSense

Kamis, 14 Juni 2012

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA


Negara Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar. Hal ini merupakan salah satu faktor penunjang lancarnya arus transaksi barang dan/atau jasa, baik itu transaksi barang dan/atau jasa yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Transaksi itu ada, apabila di suatu sisi ada pelaku usaha yang membuat/memproduksi/mengedarkan barang dan/atau jasa dan di sisi lain ada konsumen yang akan menggunakan barang dan/atau jasa yang ditawarkan tersebut. Di antara keduanya terdapat rasa saling membutuhkan dan menuntut keduanya untuk saling memberikan prestasi.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Pengaruh arus globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang yang masuk ke Indonesia, baik secara legal maupun yang ilegal sehingga di antara barang-barang tersebut ada yang merugikan konsumen karena tidak terpenuhinya kondisi barang yang tidak layak untuk dikonsumsi oleh konsumen.
Di sisi lain kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi atau iklan dengan menggunakan berbagai media termasuk di dalamnya media televisi, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Banyak hal yang diadukan konsumen akibat ketidakpedulian sebagian pelaku usaha makanan sehingga menimbulkan gangguan kesehatan atau kerugian materil akibat mengonsumsi suatu produk makanan. Gangguan maupun kerugian tersebut terjadi karena produk yang ditawarkan tidak memenuhi standar kesehatan, kualitas produk yang layak untuk dijual, atau karena tidak adanya informasi yang benar mengenai suatu produk.
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, hal ini dimaksudkan agar tercipta keseimbangan posisi konsumen dan pelaku. Namun sebaliknya, perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak boleh justru mematikan usaha-usaha pelaku usaha, karena keberadaan pelaku usaha merupakan suatu yang esensial dalam perekonomian negara (Sri Yulianingsih Mustikawati, 1991:4).
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru dalam dunia peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun dengungan mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digaungkan sejak lama. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah menempatkan posisi konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha (dalam arti seluas-luasnya).
Perkembangan perlindungan konsumen yang paling berarti adalah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK, yang memberikan perlindungan kepada konsumen tidak hanya di bidang hukum materil yang bermaksud mencegah timbulnya kerugian konsumen, tapi juga di bidang hukum acara/hukum formal yang dimaksudkan untuk memudahkan konsumen dalam menuntut pemulihan haknya kepada pelaku usaha, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan (Gunawan Widjaja, 2003:2)
Lahirnya UUPK tersebut diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak dan kewajiban yang dimiliki terhadap pelaku usaha seperti yang dapat kita baca pada konsiderans undang-undang tersebut bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Dalam Pasal 19 UUPK ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Sehubungan dengan pasal tersebut di atas, kewajiban utama pelaku usaha adalah menjaga dan menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan serta kegunaan produknya. Dalam rangka melindungi konsumen, pengawasan mutu produk yang diiklankan di media televisi baik oleh pelaku usaha, pihak stasiun televisi maupun pemerintah harus dilakukan secara seksama.
Di antara sekian banyak sektor, bidang kesehatan merupakan sektor yang relatif lebih lengkap pengaturannya dalam melindungi konsumen dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Sekalipun demikian, khusus mengenai periklanan, pada akhir tahun 1992 Menteri Kesehatan Republik Indonesia pernah melontarkan suatu kritikan yang sangat tajam terhadap iklan obat-obatan yang beredar di masyarakat, khususnya yang ditayangkan di televisi, menurutnya semua iklan itu menyesatkan (Shidarta, 2004:139)
Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan ini benar, berarti dari iklan obat-obatan yang disiarkan di televisi, tidak satu pun yang memberikan informasi yang jujur. Itu baru di satu media, belum di media lainnya, seperti media audio dan media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya apa yang diungkapkan Menteri Kesehatan sejak lama menjadi keluhan pengamat dan aktivitas perlindungan konsumen. Frekuensi keluhan itu terus meningkat, terutama sejak diperbolehkannya kembali siaran iklan di televisi. Namun keluhan-keluhan demikian biasanya tidak mendapat publikasi yang luas karena berbagai pertimbangan komersial.
Dibandingkan dengan instansi-instansi lainnya, Departemen Kesehatan sebenarnya memiliki rambu-rambu pengaman yang relatif lebih lengkap dalam melindungi konsumen dari dampak negatif periklanan. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994 (Shidarta, 2004:139) memberi empat pedoman periklanan yang diterapkan untuk periklanan : (1) obat bebas; (2) obat tradisional; (3) alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan (4) makanan minuman. Menurut ketentuan, khusus untuk iklan di bidang obat dan makanan baru dapat ditayangkan jika telah diperiksa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Beberapa fungsi BPOM antara lain adalah untuk melakukan evaluasi produk sebelum diizinkan beredar, post marketing vigilance dalam bentuk pengujian laboratorium, dan melakukan pre audit dan pasca audit atas iklan dan promosi produk.
Dengan adanya langkah yang ditempuh oleh pihak yang terkait tersebut, secara tidak langsung dapat meningkatkan harkat pelaku usaha nasional, khususnya pelaku usaha yang mengiklankan produknya melalui iklan televisi. Untuk tujuan itulah, penulis ingin mengkaji dan menelaah lebih jauh mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha terhadap konsumen mengenai produk iklan televisi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan pada penulisan Makalah ini adalah :
  1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan ?
  2. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen?
Pelaku usaha (produsen) dalam proses produksinya melalui beberapa tahap. Antara lain, tahap penyelidikan, perencanaan, pengelolaan, pengemasan dan pengepakan. Pada masing-masing tahap tersebut, produsenlah yang mengetahui persis apa yang telah dilakukan. Jika kemudian produk yang dipasarkan itu menyebabkan kerugian bagi konsumen, maka produsen tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya. Ketentuan ini terdapat perkecualian, misalnya terjadi sabotase dari pihak ketiga atau kesalahan terjadi pada konsumen itu sendiri.

Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur ketentuan mengenai hak dan kewajiban produsen. Yakni hak untuk menerima pembayaran, hak untuk mendapat perlindungan hukum, hak untuk melakukan pembelaan diri, hak rehabilitasi nama baik, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Menurut Ali Mansyur (2007), hak-hak itu dapat dipakai apabila kewajiban-kewajiban pelaku usaha sudah dilaksanakan dengan baik. Jika belum maka pelaku usaha tidak layak menerima hak tersebut tetapi justru harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggung jawabkan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Kewajiban pelaku usaha itu diatur dalam pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999.

Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggung jawaban apabila barang-barang yang dibeli oleh konsumen terdapat menderita kerugian, produknya cacat dan berbahaya, dan bahaya terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.

Tanggung Jawab Produk
Pengertian tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu : product (s) liability; produkt (en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “tanggung jawab produsen”, yakni istilah Jerman yang sering digunakan dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung. Lihat dalam bukunya Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah, Disajikan dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggung Jawab produk dan Kontrak Bangunan yang Di Selenggrakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia Bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988. hlm.6. Tanggung jawab produsen selanjunya dimakna harfiahkan sama halnya dengan tanggung jawab pelaku usaha. Dimana pelaku usaha itu sendiri adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegitan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Yang dimaksud sebagai pelaku usaha dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Tujuan utama dari hukum tanggung jawab produk yang menerapkan tanggung jawab mutlak adalah untuk menjamin agar konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen dibebankan pada orang atau pihak yang mempunyai tanggung jawab moral untuk menanggung kerugian tersebut.
Agnes M. Toar mengemukakan pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, “Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang  telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.” Dimana selanjutnya, definisi tersebut dapat dijabarkan atas bagian sebagai berikut: (a). tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual/ berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung jawab perundang-undangan berdasarkan perbuatan melanggar hukum; (b). para produsen; termasuk ini adalah, produsen/ pembuat, grosir (whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) profesional; (c). produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/ tetap; (d). yang telah di bawa produsen ke dalam peredaran; yang telah ada dalam peredaran karena tindakan produsen; (e). Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang ditimbulkan/ disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk; (f). Cacat yang melekat pada produk; kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian.
Bahwasanya di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut: “(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
Pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/ atau memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan gugatan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.”
Dan ketentuan lanjutan yang relevan dan signifikan dengan Pasal 23 adalah rumusan Pasal 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22,  dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan pasal inilah yang kemudian dikenal dengan system pembuktian terbalik.
Rumusan Pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen nampaknya muncul berdasarkan dua kerangka pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 menganut prinsip praduga lalai/ bersalah (presumption of negligence). Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, dengan adanya kerugian yang dialami oleh konsumen berarti produsen telah melakukan kesalahan.  Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menerapkan batas waktu pembayaran ganti kerugian 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Dilihat dari konteks Pasal 23, maka batas waktu 7 (tujuh) hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian, tetapi hanya memberikan kesempatan kepada produsen untuk membayar atau mencari penyelesaian lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Ada dua pemikiran di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal mengenai  ketentuan Pasal 19 Pasal 23 dan Pasal 28 yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk tersebut, pertama bahwa Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1) menganut prinsip praduga bersalah paling tidak di dasarkan pada perbedaan rumusannya dengan Pasal 1365 KUH Perdata, pertama, Pasal 1365 KUH Perdata secara tegas memuat dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena kelalaian, sedangkan Pasal 19 ayat (1) tidak mencamtumkan kata kesalahan. Dalam hal ini, Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) muncul apabila mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan. Kedua, Pasal 1365 KUHP Perdata tidak mengatur jangka waktu pembayaran, sedangkan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan jangka waktu pembayaran, yaitu 7 hari.
Kedua, pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah produsen tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Inosentius Samsul di dalam buku disertasinya dari Universitas Indonesia berjudul Perlindungan KonsumenKemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak” mengemukakan bahwa rumusan Pasal 23 UUPK memperlihatkan bahwa prinsip tanggung jawab yang juga dianut dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut prinsip tanggung jawab berasaskan kesalahan dengan dua modifikasi, yaitu pertama prinsip tanggung jawab berdasrkan praduga bersalah/lalai atau produsen sudah dianggap bersalah, sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahannya (presumption of negligence). Kedua, prinsip untuk selalu bertanggung jawab dengan beban pembuktian terbalik (presumption of liability principle).  Bahwasanya hukum tanggung jawab produk, khususnya prinsip tanggung jawab mutlak yang sudah banyak diterapkan dinegara-negara maju merupakan instrumen hukum yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap hak atas keselamatan, kesehatan, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian.
Kerangka pemikiran ini dijelaskan pula oleh Nobert Reich yang mengatakan bahwa hak untuk mendapatkan ganti kerugian dan hak atas perlindungan kesehatan merupakan bagian dari hukum tentang tanggung jawab produk. Sedangkan hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan dan hak untuk memiliki perwakilan lebih merupakan masalah-masalah politik. Lihat Norbert Reich, Protection of Consumers’s Economic Interest, h. 25.
Penerapan prinsip ini telah mempengaruhi jumlah gugatan, misalnya dalam U.S. News and Report (Juni 1982) di halaman 62, dilaporkan bahwa dalam tahun fiskal pada tanggal 30 Juni tahun 1981, terdapat 9.071 gugatan yang diajukan di pengadilan Federal. Jumlah ini meningkat 17 persen dari tahun sebelumnya dan peningkatan lebih dari 120 persen pada tahun 1977. data ini dapat ditemukan pula dalam “Product Liabilty Lawsuit Double Over Three Years“, Business Insurance pada tanggal 12 Oktober 1981). Serta jumlah ganti kerugian sebagaimana dari penelitian Ray H. Andersen, “Current Problems In Product Liability Law And Product Liability Insurance pada bulan Juli tahun 1964 dimana penelitiannya dilakukan atas beberapa putusan pengadilan atas kasus-kasus tanggung jawab produk di Ohio menunjukkan bahwa apabila dibandingkan dengan ganti kerugian dalam kecelakaan biasa, ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab produk jauh lebih besar jumlahnya. Jumlah ganti kerugian tanggung jawab produk dua kali lipat dari ganti kerugian untuk kecelakaan biasa. Rata-rata jumlah tuntutan ganti kerugian kecelakaan biasa adalah $ 11, 473, sedangkan rata-rata putusan ganti kerugian tanggung jawab produk sebesar $ 25, 879.
Gugatan tanggung jawab produk semakin kuat, ketika di Amerika Serikat dibentuk National Association of Clamants Counsel of Amerika yang dikenal dengan Nacca. Organisasi ini terdiri dari para pengacara kawakan yang mampu mendorong penerapan doktrin tanggung jawab mutlak kepada produsen. Sebagaimana hal itu telah diputuskan oleh pengadilan di beberapa negara yang telah menerapkan prinsip jawab mutlak, seperti Amerika Serikat dan Australia.
Perubahan sistem tanggung jawab dari konsep “kesalahan” ke konsep “resiko” menurut Rudiger Lummert disebabkan karena berkembangnya industrilisasi yang menghasilkan resiko yang bertambah besar serta semakin rumitnya hubungan sebab-akibat. Instrumen ini diperlukan, karena pengaturan di bidang cara berproduksi (quality control techniques) dan perdagangan barang, belum memadai untuk mencegah atau menghindari serta melindungi konsumen yang menderita kerugian baik kerugian berupa cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen (bodily/ personal injury), maupun kerusakan pada harta benda lain (property damages), dan kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri (pure economic loss). Sehingga disamping peraturan mengenai cara berproduksi, masih tetap dibutuhkan instrumen hukum yang secara khusus menjamin perolehan ganti kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk, yang dikenal dengan hukum tentang tanggung jawab produk (product liability).
Istilah product liability, sekarang ini hampir secara universal diterapkan pada tanggung jawab perusahaan, penjualan yang bukan produsen produk, atas kerusakan atau kecelakaan pada orang harta benda dari pembeli atau pihak ketiga yang disebabkan oleh produk yang telah dijual.
Dalam Black’s Law Dictionary, terdapat 3 (tiga) rumusan mengenai Product Liability, yaitu:“(1) A manufacture’s or seller’s tort liability for any damages or injuries suffered by a buyer, user, or bystander as a result of a defective product. Peroduct Liabilty can be based on a theory of negligence, “stric liability”, or breach of warranty. (2) The legal theory by which liability is imposed on the manufactures and sellers of defective product. (3) “Refers to the legal liability of manufactures and sellers to compensate buyers, users and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defects in goods purchased.”
Di Australia dalam kasus pertama penerapan doktrin strict product liability, diperoleh kesimpulan bahwa distributor produk dapat dimintakan pertanggungjawabakn atas kerugian yang diderita konsumen walaupun distributor tersebut  bukan produsen yang membuat barang, tetapi hanya karena mengemas kembali produk tersebut  dan tidak memberikan instruksi atau petunjuk penggunaan bagi konsumen untuk menggunakan produk tersebut  dengan aman. Jepang sebagai salah satu negara pesaing berat Amerika di bidang perdagangan, juga telah mengintroduksi product liability dalam sistem hukumnya. Parlemen Jepang pada 23 Juni 1994 telah menyetujui Product liability Act 1994. Undang-Undang ini lebih memungkinkan konsumen menerima ganti rugi yang dideritanya akibat produk cacad/rusak. Konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacad dan mengakibatkan kerugian baginya. Sedang ada tidaknya kelalaian/kesalahan dalam proses produksi barang/jasa menjadi tanggung jawab pengusaha untuk membuktikannya.
Penerapan konsep product liability, sudah dipakai dibidang produk medis di negara maju sebagian literatur hukum merujuk pada “The Thalidomide Tragedy“. Tragedi ini mengingatkan masyarakat internasional terhadap sejenis obat yang diperkenalkan pada akhir tahun lima puluhan (1950-an) guna mengontrol rasa muat selama beberapa minggu kehamilan. Obat tersebut ternyata mengakibatkan kegagalan pembentukan janin di dalam rahim dan lahirlah beribu-ribu bayi tanpa anggota badan di Eropa dan Australia. Suatu Landmark Decision dari badan peradilan di Inggris pada tahun 1932 dalam “Kasus Snail (keong) dalam sebotol ginger-beer” (Donoghue vs Stevenson) sebagaimana dikutip Az. Nasution sebagai berikut : Mrs. Donoghue ditraktir temannya minum sebotol ginger-beer di Restoran milik Michella. Botol tersebut  buram sehingga orang tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Michella menuangkan sebagian ginger-beer ke dalam gelas berisi es krim dan langsung di minum oleh Mrs. Donoghue. Sisa ginger-beer dituangkan oleh kawan Mrs. Donoghue ke dalam gelas lain yang tersedia dan kini dalam gelas tersebut  terlihat keong (snail) dalam bentuk terpotong-potong. Perasaan jijik Mrs. Donoghue timbul dan ia menjadi shock dan menyebabkan gastro-entresitis. Atas dasar gangguan kesehatan tubuh dan kejiwaannya, ia mengajukan gugatan ganti rugi terhadap Stenvenson, produsen ginger-beer tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa Mrs. Donoghue mempunyai alas hak untuk menggugat Stevenson sekalipun tidak ada hubungan kontraktual. Pengadilan Inggris tersebut dalam pertimbangannya menyatakan “that a manufactures owes a general duty to take care to the ultimate consumer” dan mengabulkan gugatan Penggugat.
Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dalam hukum perikatan, hukum perbuatan melawan hukum (trot law), hukum kecelakaan (ongevallenrecht, casuality law), dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum konsumen. Pandangan yang lebih maju mengatakan tanggung jawab produk ini sebagai bagian hukum tersendiri (product liability law).
Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya pelanggaran jaminan (breach of warranty), kelalaian (negligence,  dan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Tanggung Jawab Mutlak.
Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan liability without fault. (Agnes M.Toar, 1989)

Di Indonesia konsep strict liability (tanggung gugat mutlak, tanggung jawab resiko) secara implisit dapat di temukan dalam pasal 1367 dan pasal 1368 KUH Perdata. Pasal 167 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya. Misalnya seorang pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian bagi orang lain, misalnya meledak dan melukai orang lain, maka pemiliknya bertanggung jawab atas luka-luka yang ditimbulkan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesalahan yang menimbulkan ledakan itu.
Menerapkan pasal 1367 KUH Perdata seperti ini memang membutuhkan penafsiran yang cukup berani, tetapi sudah dapat dijadikan sebagai salah satu dasarnya. Kata-kata yang berada di bawah pengawasannya pada pasal 1367 KUH Perdata itu dapat dipandang sebabai factor yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya kerugian, yang berarti tidak membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang. (Janus Sidabolak, 2006).

Dengan mempergunakan konsep strict liability pada bidag perlindungan konsumen, khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian, yang pada akhirnya benar-benar memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan produsen pada posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena kedudukan produsen yang jauh lebih kuat dibandingkan konsumen. Antara lain disebabkan kemampuan pengusaha di bidang keuangan, kemajuan teknologi industri yang amat pesat, dan kemampuan pengusaha untuk memakai ahli hukum yang terbaik dalam menghadapi suatu perkara. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1992).

Alasan lain yang dapat dijadikan dasar untuk memberlakukan atau memakai konsep strict liability dalam perlindungan konsumen, khususnya tanggung jawab produk adalah dengan melihat pada tujuan dari perlindungan itu sendiri. Kata perlindungan mengandung arti memberi kemudahan bagi konsumen untuk mempertahankan dan atau memperoleh apa yang menjadi haknya.

Menurut Shidarta, dengan memberlakukan konsep pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang diharapkan dari perlindungan konsumen dapat tercapai sebab pihak konsumen yang akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan atau memperoleh haknya jika dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih di bebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dasar hukum yang dipakai oleh konsumen untuk mempertahankan haknya yaitu dengan menuntut ganti kerugian atas dasar pasal 4 dan 5 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Kemudian pada pasal 6 – pasal 13 mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha serta perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

Sedangkan pasal yang khusus mengenai tanggung jawab pelaku usaha/ produsen terdapat pada pasal 19, 23, 24, 25, 27 dan 28 UU Nomor 8 Tahun 1999. Ketentuan bentuk pertanggung jawaban pelaku usaha terhadap produk (product liability) dan (strict liability) di negara Indonesia terdapat dalam pasal 19:
 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal ini menjelaskan tentang tanggung jawab produsen (pelaku usaha) yang merupakan tanggung jawab berdasarkan kesalahan, sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata hanya jika  pelaku usaha benar-benar bersalah, dan memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut. Namun jika produsen dapat membuktikan bahwa kesalahan bukan pada pihaknya tetapi pada pihak konsumen, maka resiko di tanggung sendiri oleh konsumen.


Tanggung Jawab Sosial Pelaku Usaha
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada. Namun yang ditunggu oleh masyarakat dan pengusaha adalah bagaimana perusahaan ikut mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Berbagai perusahaan selama ini telah menjalankan community development dalam bentuk pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, prasarana jalan, beasiswa dan bimbingan kepada usaha kecil. Namun sebagian besar perusahaan masih bertanya apa yang dimaksud dengan CSR.

Setidak-tidaknya dua Undang-Undang di Indonesia mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial. Pertama, Pasal 15 b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan, bahwa setiap investor berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat. Setelah itu tanggung jawab sosial perusahaan dicantumkan lagi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini manyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada. Sebenarnya jika mengacu kepada tanggung jawab sosial perusahaan dalam arti luas berarti pasal kedua undang-undang tersebut tadi menekankan lagi perlunya perusahaan mematuhi undang-undang yang melindungi masyarakat, antara lain, perlindungan hak azasi manusia, lingkungan hidup, pekerja, dan konsumen.
Namun yang ditunggu oleh masyarakat dan pengusaha adalah bagaimana perusahaan ikut mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Berbagai perusahaan selama ini telah menjalankan community development dalam bentuk pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, prasarana jalan, beasiswa dan bimbingan kepada usaha kecil. Namun sebagian besar perusahaan masih bertanya apa yang dimaksud dengan CSR dalam kedua undang-undang tersebut.

CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
saat ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama  setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa:
" CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya"

KESIMPULAN
Selain Tanggung Jawab terhadap Konsumen, pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab terhadap karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dimana perusahaan itu berada. Dimana tanggung jawab tersebut terdiri atas 3 (tiga) bentuk tanggung jawab, yaitu Tanggung jawab Produk, Tanggung jawab Mutlak dan Tanggung Jawab sosial.
Bahwasanya di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut: “(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
Pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/ atau memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan gugatan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.”
Dan ketentuan lanjutan yang relevan dan signifikan dengan Pasal 23 adalah rumusan Pasal 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22,  dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan pasal inilah yang kemudian dikenal dengan system pembuktian terbalik.


DAFTAR PUSTAKA

- Pendapat Sri Yulianingsih Mustikawati, 1991:4
- Pendapat Gunawan Widjaja, 2003
- Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988. hlm.6.
- Inosentius Samsul di dalam buku disertasinya dari Universitas Indonesia berjudul Perlindungan KonsumenKemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak”.
- Norbert Reich, Protection of Consumers’s Economic Interest, h. 25.
- Wikipedia
- Pendapat Janus Sidabolak, 2006 dalam salah satu Blognya.



Artikel Terkait:

by Facebook Comment

1 komentar: