Negara Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk yang besar. Hal ini merupakan salah satu faktor penunjang lancarnya
arus transaksi barang dan/atau jasa, baik itu transaksi barang dan/atau jasa
yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Transaksi itu ada,
apabila di suatu sisi ada pelaku usaha yang membuat/memproduksi/mengedarkan
barang dan/atau jasa dan di sisi lain ada konsumen yang akan menggunakan barang
dan/atau jasa yang ditawarkan tersebut. Di antara keduanya terdapat rasa saling
membutuhkan dan menuntut keduanya untuk saling memberikan prestasi.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan
khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan
berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Pengaruh arus
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi
barang yang masuk ke Indonesia, baik secara legal maupun yang ilegal sehingga
di antara barang-barang tersebut ada yang merugikan konsumen karena tidak
terpenuhinya kondisi barang yang tidak layak untuk dikonsumsi oleh konsumen.
Di sisi lain kondisi dan fenomena tersebut dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat
promosi atau iklan dengan menggunakan berbagai media termasuk di dalamnya media
televisi, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Banyak hal yang diadukan konsumen akibat
ketidakpedulian sebagian pelaku usaha makanan sehingga menimbulkan gangguan kesehatan
atau kerugian materil akibat mengonsumsi suatu produk makanan. Gangguan maupun
kerugian tersebut terjadi karena produk yang ditawarkan tidak memenuhi standar
kesehatan, kualitas produk yang layak untuk dijual, atau karena tidak adanya
informasi yang benar mengenai suatu produk.
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan
peningkatan upaya untuk melindunginya, hal ini dimaksudkan agar tercipta
keseimbangan posisi konsumen dan pelaku. Namun sebaliknya, perlu diperhatikan
bahwa dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak boleh justru
mematikan usaha-usaha pelaku usaha, karena keberadaan pelaku usaha merupakan
suatu yang esensial dalam perekonomian negara (Sri Yulianingsih Mustikawati,
1991:4).
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup
baru dalam dunia peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun dengungan
mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen
tersebut sudah digaungkan sejak lama. Praktek monopoli dan tidak adanya
perlindungan konsumen telah menempatkan posisi konsumen dalam tingkat yang
terendah dalam menghadapi para pelaku usaha (dalam arti seluas-luasnya).
Perkembangan perlindungan konsumen yang paling berarti
adalah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK, yang memberikan
perlindungan kepada konsumen tidak hanya di bidang hukum materil yang bermaksud
mencegah timbulnya kerugian konsumen, tapi juga di bidang hukum acara/hukum
formal yang dimaksudkan untuk memudahkan konsumen dalam menuntut pemulihan
haknya kepada pelaku usaha, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan
(Gunawan Widjaja, 2003:2)
Lahirnya UUPK tersebut diharapkan dapat mendidik
masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak dan kewajiban yang
dimiliki terhadap pelaku usaha seperti yang dapat kita baca pada konsiderans
undang-undang tersebut bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggungjawab.
Dalam Pasal 19 UUPK ditentukan bahwa pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
Sehubungan dengan pasal tersebut di atas, kewajiban
utama pelaku usaha adalah menjaga dan menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
serta kegunaan produknya. Dalam rangka melindungi konsumen, pengawasan mutu
produk yang diiklankan di media televisi baik oleh pelaku usaha, pihak stasiun
televisi maupun pemerintah harus dilakukan secara seksama.
Di antara sekian banyak sektor, bidang kesehatan
merupakan sektor yang relatif lebih lengkap pengaturannya dalam melindungi
konsumen dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Sekalipun demikian, khusus
mengenai periklanan, pada akhir tahun 1992 Menteri Kesehatan Republik Indonesia
pernah melontarkan suatu kritikan yang sangat tajam terhadap iklan obat-obatan
yang beredar di masyarakat, khususnya yang ditayangkan di televisi, menurutnya
semua iklan itu menyesatkan (Shidarta, 2004:139)
Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan
ini benar, berarti dari iklan obat-obatan yang disiarkan di televisi, tidak
satu pun yang memberikan informasi yang jujur. Itu baru di satu media, belum di
media lainnya, seperti media audio dan media cetak yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Sesungguhnya apa yang diungkapkan Menteri Kesehatan
sejak lama menjadi keluhan pengamat dan aktivitas perlindungan konsumen.
Frekuensi keluhan itu terus meningkat, terutama sejak diperbolehkannya kembali
siaran iklan di televisi. Namun keluhan-keluhan demikian biasanya tidak
mendapat publikasi yang luas karena berbagai pertimbangan komersial.
Dibandingkan dengan instansi-instansi lainnya,
Departemen Kesehatan sebenarnya memiliki rambu-rambu pengaman yang relatif
lebih lengkap dalam melindungi konsumen dari dampak negatif periklanan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994 (Shidarta, 2004:139)
memberi empat pedoman periklanan yang diterapkan untuk periklanan : (1) obat
bebas; (2) obat tradisional; (3) alat kesehatan, kosmetika, dan perbekalan
kesehatan rumah tangga; dan (4) makanan minuman. Menurut ketentuan, khusus
untuk iklan di bidang obat dan makanan baru dapat ditayangkan jika telah
diperiksa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Beberapa fungsi BPOM
antara lain adalah untuk melakukan evaluasi produk sebelum diizinkan beredar, post
marketing vigilance dalam bentuk pengujian laboratorium, dan melakukan pre
audit dan pasca audit atas iklan dan promosi produk.
Dengan adanya langkah yang ditempuh oleh pihak yang
terkait tersebut, secara tidak langsung dapat meningkatkan harkat pelaku usaha
nasional, khususnya pelaku usaha yang mengiklankan produknya melalui iklan
televisi. Untuk tujuan itulah, penulis ingin mengkaji dan menelaah lebih jauh
mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha terhadap konsumen mengenai produk
iklan televisi.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka
yang menjadi permasalahan pada penulisan Makalah ini adalah :
- Bagaimanakah bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan ?
- Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen?
Pelaku usaha
(produsen) dalam proses produksinya melalui beberapa tahap. Antara lain, tahap
penyelidikan, perencanaan, pengelolaan, pengemasan dan pengepakan. Pada
masing-masing tahap tersebut, produsenlah yang mengetahui persis apa yang telah
dilakukan. Jika kemudian produk yang dipasarkan itu menyebabkan kerugian bagi
konsumen, maka produsen tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya. Ketentuan
ini terdapat perkecualian, misalnya terjadi sabotase dari pihak ketiga atau
kesalahan terjadi pada konsumen itu sendiri.
Pasal 6 UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur ketentuan
mengenai hak dan kewajiban produsen. Yakni hak untuk menerima pembayaran, hak
untuk mendapat perlindungan hukum, hak untuk melakukan pembelaan diri, hak
rehabilitasi nama baik, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Menurut Ali
Mansyur (2007), hak-hak itu dapat dipakai apabila kewajiban-kewajiban pelaku
usaha sudah dilaksanakan dengan baik. Jika belum maka pelaku usaha tidak layak
menerima hak tersebut tetapi justru harus berhadapan dengan hukum untuk
mempertanggung jawabkan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Kewajiban
pelaku usaha itu diatur dalam pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999.
Tanggung
jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan
konsumen. Pelaku usaha dapat dikenakan pertanggung jawaban apabila
barang-barang yang dibeli oleh konsumen terdapat menderita kerugian, produknya
cacat dan berbahaya, dan bahaya terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.
Tanggung Jawab Produk
Pengertian tanggung jawab produk
adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu : product (s) liability; produkt
(en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat diterjemahkan sebagai
“tanggung jawab produsen”, yakni istilah Jerman yang sering digunakan dalam
kepustakaan, yakni produzenten-haftung. Lihat dalam bukunya Agnes M. Toar,
Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah,
Disajikan dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggung Jawab produk dan Kontrak
Bangunan yang Di Selenggrakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia
Bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus,
1988. hlm.6. Tanggung jawab produsen selanjunya dimakna harfiahkan sama halnya
dengan tanggung jawab pelaku usaha. Dimana pelaku usaha itu sendiri adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegitan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Yang dimaksud sebagai pelaku usaha dalam penjelasan Undang-undang
Perlindungan Konsumen ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Tujuan utama dari hukum
tanggung jawab produk yang menerapkan tanggung jawab mutlak adalah untuk
menjamin agar konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang
mengakibatkan kerugian bagi konsumen dibebankan pada orang atau pihak yang
mempunyai tanggung jawab moral untuk menanggung kerugian tersebut.
Agnes M. Toar mengemukakan pengertian
tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, “Tanggung jawab produk adalah
tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam
peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut.” Dimana selanjutnya, definisi tersebut dapat
dijabarkan atas bagian sebagai berikut: (a). tanggung jawab meliputi baik
tanggung jawab kontraktual/ berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung jawab
perundang-undangan berdasarkan perbuatan melanggar hukum; (b). para produsen;
termasuk ini adalah, produsen/ pembuat, grosir (whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) profesional;
(c). produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/ tetap; (d). yang telah
di bawa produsen ke dalam peredaran; yang telah ada dalam peredaran karena
tindakan produsen; (e). Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang ditimbulkan/
disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk; (f). Cacat yang
melekat pada produk; kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya
kerugian.
Bahwasanya di dalam Undang-undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang
menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di
Indonesia, yaitu ketentuan Pasal
19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan
tanggung jawab produsen sebagai berikut: “(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen
akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
Pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/
atau memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan
gugatan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.”
Dan ketentuan lanjutan yang relevan
dan signifikan dengan Pasal 23 adalah rumusan Pasal 28 Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan pasal inilah yang kemudian
dikenal dengan system pembuktian terbalik.
Rumusan Pasal 23 Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen nampaknya muncul berdasarkan dua
kerangka pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 menganut prinsip praduga
lalai/ bersalah (presumption
of negligence). Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila
produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, dengan
adanya kerugian yang dialami oleh konsumen berarti produsen telah melakukan
kesalahan. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menerapkan batas waktu pembayaran
ganti kerugian 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Dilihat dari konteks Pasal 23,
maka batas waktu 7 (tujuh) hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses
pembuktian, tetapi hanya memberikan kesempatan kepada produsen untuk membayar
atau mencari penyelesaian lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui
pengadilan.
Ada dua pemikiran di dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga)
pasal mengenai ketentuan Pasal 19 Pasal 23 dan Pasal 28 yang
menggambarkan sistem tanggung jawab produk tersebut, pertama bahwa
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1)
menganut prinsip praduga bersalah paling tidak di dasarkan pada perbedaan
rumusannya dengan Pasal 1365 KUH Perdata, pertama, Pasal 1365 KUH Perdata
secara tegas memuat dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena
kelalaian, sedangkan Pasal 19 ayat (1) tidak mencamtumkan kata kesalahan. Dalam
hal ini, Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menegaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) muncul apabila
mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan. Kedua, Pasal
1365 KUHP Perdata tidak mengatur jangka waktu pembayaran, sedangkan Pasal 19
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan jangka
waktu pembayaran, yaitu 7 hari.
Kedua, pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah produsen tidak membayar ganti
kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan. Sikap produsen ini membuka
peluang bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian
sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Inosentius Samsul di dalam buku
disertasinya dari Universitas Indonesia berjudul Perlindungan Konsumen “Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak” mengemukakan bahwa rumusan Pasal 23 UUPK memperlihatkan
bahwa prinsip tanggung jawab yang juga dianut dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab (presumption
of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu
modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembuktian
terbalik. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut prinsip tanggung jawab
berasaskan kesalahan dengan dua modifikasi, yaitu pertama prinsip tanggung jawab
berdasrkan praduga bersalah/lalai atau produsen sudah dianggap bersalah,
sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahannya (presumption of negligence). Kedua, prinsip untuk
selalu bertanggung jawab dengan beban pembuktian terbalik (presumption of liability principle).
Bahwasanya hukum tanggung jawab produk, khususnya prinsip tanggung jawab
mutlak yang sudah banyak diterapkan dinegara-negara maju merupakan instrumen
hukum yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen,
khususnya terhadap hak atas keselamatan, kesehatan, dan hak untuk mendapatkan
ganti kerugian.
Kerangka pemikiran ini dijelaskan pula
oleh Nobert Reich yang mengatakan bahwa hak untuk mendapatkan ganti kerugian
dan hak atas perlindungan kesehatan merupakan bagian dari hukum tentang
tanggung jawab produk. Sedangkan hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan
dan hak untuk memiliki perwakilan lebih merupakan masalah-masalah politik. Lihat
Norbert Reich, Protection of Consumers’s Economic Interest, h. 25.
Penerapan prinsip ini telah
mempengaruhi jumlah gugatan, misalnya dalam U.S. News and Report (Juni 1982) di
halaman 62, dilaporkan bahwa dalam tahun fiskal pada tanggal 30 Juni tahun 1981,
terdapat 9.071 gugatan yang diajukan di pengadilan Federal. Jumlah ini
meningkat 17 persen dari tahun sebelumnya dan peningkatan lebih dari 120 persen
pada tahun 1977. data ini dapat ditemukan pula dalam “Product Liabilty Lawsuit Double Over
Three Years“, Business Insurance pada tanggal 12 Oktober 1981).
Serta jumlah ganti kerugian sebagaimana dari penelitian Ray H. Andersen, “Current Problems In Product Liability
Law And Product Liability Insurance pada bulan Juli tahun 1964
dimana penelitiannya dilakukan atas beberapa putusan pengadilan atas
kasus-kasus tanggung jawab produk di Ohio menunjukkan bahwa apabila
dibandingkan dengan ganti kerugian dalam kecelakaan biasa, ganti kerugian
berdasarkan tanggung jawab produk jauh lebih besar jumlahnya. Jumlah ganti
kerugian tanggung jawab produk dua kali lipat dari ganti kerugian untuk
kecelakaan biasa. Rata-rata jumlah tuntutan ganti kerugian kecelakaan biasa
adalah $ 11, 473, sedangkan rata-rata putusan ganti kerugian tanggung jawab
produk sebesar $ 25, 879.
Gugatan tanggung jawab produk semakin
kuat, ketika di Amerika Serikat dibentuk National
Association of Clamants Counsel of Amerika yang dikenal dengan Nacca. Organisasi ini
terdiri dari para pengacara kawakan yang mampu mendorong penerapan doktrin
tanggung jawab mutlak kepada produsen. Sebagaimana hal itu telah diputuskan
oleh pengadilan di beberapa negara yang telah menerapkan prinsip jawab mutlak,
seperti Amerika Serikat dan Australia.
Perubahan sistem tanggung jawab dari
konsep “kesalahan”
ke konsep “resiko”
menurut Rudiger Lummert disebabkan karena berkembangnya industrilisasi yang
menghasilkan resiko yang bertambah besar serta semakin rumitnya hubungan
sebab-akibat. Instrumen ini diperlukan, karena pengaturan di bidang cara
berproduksi (quality control
techniques) dan perdagangan barang, belum memadai untuk mencegah
atau menghindari serta melindungi konsumen yang menderita kerugian baik
kerugian berupa cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen (bodily/ personal injury),
maupun kerusakan pada harta benda lain (property
damages), dan kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri (pure economic loss).
Sehingga disamping peraturan mengenai cara berproduksi, masih tetap dibutuhkan
instrumen hukum yang secara khusus menjamin perolehan ganti kerugian akibat
mengkonsumsi suatu produk, yang dikenal dengan hukum tentang tanggung jawab
produk (product liability).
Istilah product liability, sekarang ini hampir secara
universal diterapkan pada tanggung jawab perusahaan, penjualan yang bukan
produsen produk, atas kerusakan atau kecelakaan pada orang harta benda dari
pembeli atau pihak ketiga yang disebabkan oleh produk yang telah dijual.
Dalam Black’s Law Dictionary, terdapat 3 (tiga)
rumusan mengenai Product
Liability, yaitu:“(1)
A manufacture’s or seller’s tort liability for any damages or injuries suffered
by a buyer, user, or bystander as a result of a defective product. Peroduct
Liabilty can be based on a theory of negligence, “stric liability”, or breach
of warranty. (2) The legal theory by which liability is imposed on the
manufactures and sellers of defective product. (3) “Refers to the legal
liability of manufactures and sellers to compensate buyers, users and even
bystanders, for damages or injuries suffered because of defects in goods
purchased.”
Di Australia dalam kasus pertama
penerapan doktrin strict
product liability, diperoleh kesimpulan bahwa distributor produk
dapat dimintakan pertanggungjawabakn atas kerugian yang diderita konsumen
walaupun distributor tersebut bukan produsen yang membuat barang, tetapi hanya
karena mengemas kembali produk tersebut dan tidak memberikan instruksi
atau petunjuk penggunaan bagi konsumen untuk menggunakan produk tersebut
dengan aman. Jepang sebagai salah satu negara pesaing berat Amerika di bidang
perdagangan, juga telah mengintroduksi product
liability dalam sistem hukumnya. Parlemen Jepang pada 23 Juni 1994
telah menyetujui Product
liability Act 1994. Undang-Undang ini lebih memungkinkan konsumen
menerima ganti rugi yang dideritanya akibat produk cacad/rusak. Konsumen cukup
membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacad dan mengakibatkan
kerugian baginya. Sedang ada tidaknya kelalaian/kesalahan dalam proses produksi
barang/jasa menjadi tanggung jawab pengusaha untuk membuktikannya.
Penerapan
konsep product liability,
sudah dipakai dibidang produk medis di negara maju sebagian literatur hukum
merujuk pada “The
Thalidomide Tragedy“. Tragedi ini mengingatkan masyarakat
internasional terhadap sejenis obat yang diperkenalkan pada akhir tahun lima
puluhan (1950-an) guna mengontrol rasa muat selama beberapa minggu kehamilan.
Obat tersebut ternyata mengakibatkan kegagalan pembentukan janin di dalam rahim
dan lahirlah beribu-ribu bayi tanpa anggota badan di Eropa dan Australia. Suatu
Landmark Decision dari badan peradilan di Inggris pada tahun 1932 dalam “Kasus Snail (keong) dalam sebotol
ginger-beer” (Donoghue
vs Stevenson) sebagaimana dikutip Az. Nasution sebagai berikut : Mrs. Donoghue ditraktir temannya minum
sebotol ginger-beer di Restoran milik Michella. Botol tersebut buram
sehingga orang tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Michella
menuangkan sebagian ginger-beer ke dalam gelas berisi es krim dan langsung di
minum oleh Mrs. Donoghue. Sisa ginger-beer dituangkan oleh kawan Mrs. Donoghue
ke dalam gelas lain yang tersedia dan kini dalam gelas tersebut terlihat
keong (snail) dalam bentuk terpotong-potong. Perasaan jijik Mrs. Donoghue
timbul dan ia menjadi shock dan menyebabkan gastro-entresitis. Atas dasar
gangguan kesehatan tubuh dan kejiwaannya, ia mengajukan gugatan ganti rugi
terhadap Stenvenson, produsen ginger-beer tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa
Mrs. Donoghue mempunyai alas hak untuk menggugat Stevenson sekalipun tidak ada
hubungan kontraktual. Pengadilan Inggris tersebut dalam pertimbangannya menyatakan
“that a manufactures owes a general duty to take care to the ultimate consumer”
dan mengabulkan gugatan Penggugat.
Tanggung
jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda.
Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dalam hukum perikatan,
hukum perbuatan melawan hukum (trot law), hukum kecelakaan (ongevallenrecht,
casuality law), dan ada yang menyebutkannya sebagai bagian dari hukum
konsumen. Pandangan yang lebih maju mengatakan tanggung jawab produk ini
sebagai bagian hukum tersendiri (product liability law).
Dasar
gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya
pelanggaran jaminan (breach of warranty), kelalaian (negligence, dan
tanggung jawab mutlak (strict liability).
Tanggung
Jawab Mutlak.
Tanggung
jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan
melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum
yang tidak didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku
langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan
hukum itu. Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan
liability without fault. (Agnes M.Toar, 1989)
Di Indonesia
konsep strict liability (tanggung gugat mutlak, tanggung jawab resiko)
secara implisit dapat di temukan dalam pasal 1367 dan pasal 1368 KUH Perdata.
Pasal 167 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian
yang disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya. Misalnya
seorang pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian
bagi orang lain, misalnya meledak dan melukai orang lain, maka pemiliknya
bertanggung jawab atas luka-luka yang ditimbulkan, tanpa mempersoalkan ada
tidaknya kesalahan yang menimbulkan ledakan itu.
Menerapkan
pasal 1367 KUH Perdata seperti ini memang membutuhkan penafsiran yang cukup
berani, tetapi sudah dapat dijadikan sebagai salah satu dasarnya. Kata-kata
yang berada di bawah pengawasannya pada pasal 1367 KUH Perdata itu dapat
dipandang sebabai factor yang berdiri sendiri sebagai penyebab timbulnya
kerugian, yang berarti tidak membutuhkan adanya kesalahan pemilik barang.
(Janus Sidabolak, 2006).
Dengan
mempergunakan konsep strict liability pada bidag perlindungan konsumen,
khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian, yang pada akhirnya
benar-benar memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini tidak dimaksudkan
untuk menempatkan produsen pada posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena
kedudukan produsen yang jauh lebih kuat dibandingkan konsumen. Antara lain
disebabkan kemampuan pengusaha di bidang keuangan, kemajuan teknologi industri
yang amat pesat, dan kemampuan pengusaha untuk memakai ahli hukum yang terbaik
dalam menghadapi suatu perkara. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1992).
Alasan lain
yang dapat dijadikan dasar untuk memberlakukan atau memakai konsep strict
liability dalam perlindungan konsumen, khususnya tanggung jawab produk
adalah dengan melihat pada tujuan dari perlindungan itu sendiri. Kata
perlindungan mengandung arti memberi kemudahan bagi konsumen untuk
mempertahankan dan atau memperoleh apa yang menjadi haknya.
Menurut
Shidarta, dengan memberlakukan konsep pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang
diharapkan dari perlindungan konsumen dapat tercapai sebab pihak konsumen yang
akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan atau memperoleh
haknya jika dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih di
bebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen.
Dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dasar hukum yang dipakai oleh
konsumen untuk mempertahankan haknya yaitu dengan menuntut ganti kerugian atas
dasar pasal 4 dan 5 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Kemudian pada pasal 6
– pasal 13 mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha serta perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha.
Sedangkan
pasal yang khusus mengenai tanggung jawab pelaku usaha/ produsen terdapat pada
pasal 19, 23, 24, 25, 27 dan 28 UU Nomor 8 Tahun 1999. Ketentuan bentuk
pertanggung jawaban pelaku usaha terhadap produk (product liability) dan
(strict liability) di negara Indonesia terdapat dalam pasal 19:
(1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
(4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pasal ini
menjelaskan tentang tanggung jawab produsen (pelaku usaha) yang merupakan
tanggung jawab berdasarkan kesalahan, sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata hanya
jika pelaku usaha benar-benar bersalah, dan memenuhi unsur-unsur dalam
pasal tersebut. Namun jika produsen dapat membuktikan bahwa kesalahan bukan
pada pihaknya tetapi pada pihak konsumen, maka resiko di tanggung sendiri oleh
konsumen.
Tanggung Jawab Sosial Pelaku Usaha
Corporate Social Responsibility
(CSR) dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi
Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam
pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar
perusahaan berada. Namun yang ditunggu oleh masyarakat dan pengusaha adalah bagaimana
perusahaan ikut mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Berbagai perusahaan
selama ini telah menjalankan community development dalam bentuk pembangunan
fasilitas kesehatan, pendidikan, prasarana jalan, beasiswa dan bimbingan kepada
usaha kecil. Namun sebagian besar perusahaan masih bertanya apa yang dimaksud
dengan CSR.
Setidak-tidaknya dua
Undang-Undang di Indonesia mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggung
jawab sosial. Pertama, Pasal 15 b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal menyatakan, bahwa setiap investor berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang
melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat. Setelah itu tanggung jawab sosial perusahaan dicantumkan lagi dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang ini menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Ayat (2) pasal ini manyatakan kewajiban tersebut
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan
perseroan yang tidak
melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan
lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan
kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan
hidup. Dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat
sekitar perusahaan berada. Sebenarnya jika mengacu kepada tanggung jawab sosial
perusahaan dalam arti luas berarti pasal kedua undang-undang tersebut tadi
menekankan lagi perlunya perusahaan mematuhi undang-undang yang melindungi
masyarakat, antara lain, perlindungan hak azasi manusia, lingkungan hidup,
pekerja, dan konsumen.
Namun yang ditunggu
oleh masyarakat dan pengusaha adalah bagaimana perusahaan ikut mensejahterakan
masyarakat sekitarnya. Berbagai perusahaan selama ini telah menjalankan community
development dalam bentuk pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan,
prasarana jalan, beasiswa dan bimbingan kepada usaha kecil. Namun sebagian
besar perusahaan masih bertanya apa yang dimaksud dengan CSR dalam kedua
undang-undang tersebut.
CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan",
di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya
harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan,
misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi
sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
saat
ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat
telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap
lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan
tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak
nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar.
Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan
sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui
batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh
Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai
memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan
investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi
bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing).
Banyak
pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan
baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for
Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial
merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan
pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong
para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian
pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas
tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta
memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple
bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai
kegiatan sosial di atas.
Kepedulian
kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun
secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama
bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di
mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar
dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku
kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang
merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"dunia
bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling
berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus
mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan
yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut “
Sebuah
definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200
perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan
berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa:
"
CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk
bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari
komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf
hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya"
KESIMPULAN
Selain
Tanggung Jawab terhadap Konsumen, pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab
terhadap karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dimana perusahaan
itu berada. Dimana tanggung jawab tersebut terdiri atas 3 (tiga) bentuk
tanggung jawab, yaitu Tanggung jawab Produk, Tanggung jawab Mutlak dan Tanggung
Jawab sosial.
Bahwasanya di dalam Undang-undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang
menggambarkan sistem tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum perlindungan
konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal
19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan
tanggung jawab produsen sebagai berikut: “(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen
akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
Pasal 23 Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/
atau memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan
gugatan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.”
Dan ketentuan lanjutan yang relevan
dan signifikan dengan Pasal 23 adalah rumusan Pasal 28 Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan pasal inilah yang kemudian dikenal
dengan system pembuktian terbalik.
DAFTAR PUSTAKA
-
Pendapat Sri
Yulianingsih Mustikawati, 1991:4
- Pendapat
Gunawan Widjaja, 2003
- Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab
atas Produk di Indonesia, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988. hlm.6.
-
Inosentius Samsul di dalam buku disertasinya dari Universitas Indonesia
berjudul Perlindungan
Konsumen “Kemungkinan
Penerapan Tanggung Jawab Mutlak”.
- Norbert Reich, Protection of
Consumers’s Economic Interest, h. 25.
-
Wikipedia
-
Pendapat Janus
Sidabolak, 2006 dalam salah satu Blognya.
terimakasih, sangat bermanfaat...
BalasHapus