AdSense

Jumat, 23 Oktober 2009

RIWAYAT SINGKAT MANGKUBUMI / PA’BICARABUTTA (MAHAPATIH) KERAJAAN GOWA


Nama lengkap Beliau I Mahmud Mangngadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang  Tuminanga Ri Bontobiraeng,menjabat mangkubumi / pabbicarabutta kerajaan Gowa(1639-1654),mendampingi raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid (Muhammad Said) Tuminanga Ri Papambatunna(1639-1653).
Beliau adalah putra Raja Tallo VI dan mangkubumi / pabbicarabutta kerajaan Gowa I Mallingkaang Daeng Mannyonri’ Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tuminanga Ri Agamana,yang lahir dari permaisuri Beliau yang bernama I Wara’ Karaeng Lempangang.Karaeng Pattingalloang bersaudara kandung dengan Raja Tallo VII I Manginyarrang Dg Makkio Karaeng Kanjilo Sultan Abdul Gaffar Tumammaliyanga ri Timoro’.
Pada umur 18 tahun,Karaeng Pattingalloang telah menguasai bahasa Portugis,Spanyol,Latin,Inggris,Perancis,Belanda,Cina,dan Arab,diluar dari pada bahasa lokal (bahasa makassar,bugis,mandar) juga bahasa jawa dan melayu.
Dengan kepandaian dan keahliannya, turut mengantarkan gowa sebagai negara terkuat di bidang politik,militer,ekonomi dan menjadikannya sebagai bandar niaga terbesar di Asia tenggara pada zamannya.Menurut Alexander Rhodes(misionaris katolik di makassar pada tahun 1646),dari catatannya; Karaeng Pattingalloang cukup menguasai rahasia ilmu barat,tekun mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan di Eropa,serta mahir ilmu matematika.
Juga menurut catatan Fride Rhodes,Beliau juga menghayati tehnical inovation europe,dan merupakan orang Asia tenggara pertama yang menyadari pentingnya ilmu-ilmu terapan (aplied Science),serta gemar mengumpulkan benda-benda ilmu pengetahuan seperti Globe,Peta dunia dengan deskripsi dalam bahasa Spanyol,Portugis,dan Latin,mengoleksi buku-buku tentang ilmu Bumi,serta menerima hadiah Atlas dan Globe yang terbuat dari tembaga oleh VOC.
Di zamannya pada tahun 1652 Inggris menyerahkan teleskop GALILEAN PROSPECHTIVE GLASS ciptaan Galileo sesuai pesanan mendiang Raja Gowa XIV I Mangnga’rangngi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga Ri Gaukanna,ini membuktikan bahwa Kerajaan Gowa ikut berkecimpung dalam semangat Renaissance ilmu pengetahuan Barat yang turut mempengaruhi kebudayaan Makassar pada waktu itu.
Pada akhir hayatnya beliau tampil sebagai sosok pejuang,diplomat,seniman,cendekiawan,agamawan,dan negarawan,yang dikenal bukan hanya di nusantara,tapi di seluruh penjuru dunia,Beliau wafat pada 15 September 1654,dan digantikan oleh putranya,Abdul Hamid Karaeng Karunrung,sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa,yang mana Beliau ini merupakan murid spiritual dari ulama,shufi,dan pejuang terkenal dari Negeri Gowa Syekh Yusuf Tajul Khalwatiyah Al Makassari.
Sebelum meninggalnya Beliau telah mempersiapkan 500 buah kapal Perang yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang kedudukan Belanda di Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar) ketika itu. Karena begitu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bernama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein

Yang artinya sebagai berikut:

Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.

Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Parasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Parasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan Tumenanga ri Bonto Biraeng. by Facebook Comment

KISAH KEPAHLAWANAN PUTRA MAKASSAR DI SRILANKA


Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.

Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut ‘Cella Bangkahulu’ yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.

Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.

Hidup di tanah pembuangan yang jauh dari tanah tumpah darah sendiri mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Namun di Ceylon Siti Hapipa melahirkan banyak anak seperti marmut. Ia mencatat dalam sepucuk surat beraksara Jawi yang ditulisnya di Colombo tanggal 3 Januari 1807 bahwa anaknya duabelas orang (6 lelaki, 6 perempuan). Surat itu saya temukan baru-baru ini di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda (Kompas, 11&14/8/2008; Jurnal Wacana 10.2, 2008: 214-45).

Rupanya Sultan Fakhruddin punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Kelak anak itu menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.

Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (yang kemudian bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.

Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal Istana Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy (the Kandyan Malays) yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.

Enam saudara tiri Karaeng Sangunglo—Karaeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddin—juga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Tuan-tuan Eropanya.

Surat Siti Hapipa yang saya temukan itu juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada tanah Nusantara. Suaminya, yang menanggung utang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada Minggu, jam 13:30, 25 Januari 1795 di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek.

“Setelah [h]abis minum te[h] maka Baginda(h) bangun(g)lah daripada meja(h) serta mohon kepada Adelir [Angelbeek], maka baring2, tatkala itulah sudah pulang ke Rahmatullah kepada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah”, tulis Siti Hapipa dalam suratnya, menjelaskan penyebab kematian suaminya.

Perang atas nama penindasan antara sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusuf—yang dalam beberapa laporan Inggris disebut ‘Captain Usop Gowa’—dan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.

Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.

Mendekati Istana Kandy Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empatpuluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berpisah. Kini sebuah ‘reuni’ ironis terjadi dalam tatapan dan nafsu untuk saling membunuh.

Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya ‘fat and tall Malay prince’ di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia membujuk kedua saudara tirinya membelot ke pihak Kandy. Bujukan itu gagal, Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas Kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.

Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada Kerajaan Kandy. Akan tetapi Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak permintaan Raja Kandy itu, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.

Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang terjadi kepada seorang hamba jika seorang raja sudah murka. Algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Saking murkanya, Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Kedua jenazah itu dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.

Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah ‘tali sejarah’ yang mungkin dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makassary, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, di kaki Pulau Sulawesi sana.

Kiranya riwayat hidup ‘pahlawan Indonesia’ seberang lautan itu perlu diteliti lebih lanjut oleh cerdik-pandai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Sumber : Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda.
by Facebook Comment

Heroisme Anak Makassar Di Thailand


Kisah ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang
ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja
Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama,
ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah
pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih dulu menetap.

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak
berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan
kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak
terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut
kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul
bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan
pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang
berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin
oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang
beranggotakan 636 orang.

Adalah seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama Daeng Mangalle yang rupanya terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja akan berpindah memeluk agama baru.

Rupanya konspirasi ini sudah tercium oleh sang raja, sehingga dengan cepat Phra Narai memperkuat pertahanan istananya dengan menempatkan pasukan Prancis tersebut serta meminta dukungan dari orang asing lainnya. Daeng Mangalle menolak meminta pengampunan dari Raja dan menyangkal keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut.

Karena menolak akhirnya raja memerintahkan Forbin untuk mengepung
kapal-2 orang Makassar yang berniat meninggalkan Siam.
Kontak senjata pertama terjadi 40 orang Makassar menghadapi serdadu
Prancis dan Portugis dimana orang-orang Makassar menyerang mereka dengan mengerikan mengejar pasukan Prancis dan Portugis sejengkal demi sejengkal tanah yang dilewati menjadi ladang pembantian, wanita,
anak-anak semua dibunuh tanpa kecuali. Enam orang Makassar menyerang Pagoda dan membunuh biawarawan disana, tercatat pasukan Eropa-Siam kehilangan 366 orang dan belum lagi korban penduduk sipil.

Kontak kedua terjadi lagi saat tanggal 23 September 1686, raja
memerintahkan serangan besar-besaran ke perkampungan orang Makassar.
Akhirnya prinsip orang Bugis Makassar menghadapi tantangan "sekali
layar berkembang pantang surut kebelakang" menyadari bahwa sudah tidak ada kemungkinan lain selain bertempur sampai mati,dan setelah menyadari mereka tak akan memenangkan pertempuran, banyak diantara mereka terpaksa membunuh istri dan anak-anaknya untuk menghindarkan keluarga mereka dari perbudakan dan di perkosa. Beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi perlawanan orang Makassar yang sangat berani dan nekat. Bahkan seorang saksi Sejarah Peristiwa ini Menuliskan Kekaguman Mendalam Terhadap Orang-Orang Makassar, Belum pernah ia melihat ada bangsa yang seberani Bangsa Makassar...,ia melihat Orang Makassar itu sudah terkapar bersimbah darah dan di Injak- injak oleh tentara Siam dan Perancis, tetapi dengan seketika Orang Makassar yang sudah terkapar dan bersimbah darah itu Bangkit dan Membunuh dua Orang tentara Perancis yang ada di dekatnya, lalu kemudian ia mati perlahan-lahan.
Daeng Mangalle sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah
tangannya tertembak langsung menerjang menteri Siam dan membunuh
seorang Inggris.

Demikianlah akhir dari pertempuran itu 22 orang Makassar akhirnya
menyerah dan 33 orang prajurit Makassar dikumpulkan. Perlakuan
terhadap orang Makassar yang tersisa sungguh tak terperikan kejamnya,
ada yang dikubur hidup-hidup, berdiri sampai leher dan mati setelah
diperlakukan dan di cemohkan serta dihinakan tanpa belas kasihan.

Peristiwa di Siam ini benar-benar membuat penduduk setempat kagum akankeberanian kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap sementara orang Makassar hanya bersenjatakan tombak dan badik, selama pertempuran itu 1000 orang siam dan 17 orang asing tewas mengenaskan.

Buku: Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai
dengan abad XX, karya Bernard Dorleans

Bernard Dorleans, sejarawan Perancis, mengumpulkan catatan
itu dalam buku 'Orang Indonesia dan Orang Perancis' (Edisi bahasa Indonesia,KPG, 2006). Ia merujuk pada artikel Christian Pelras di majalah Archipel pada 1997. Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Louis XIV dan Louis XV (1686-1736). Pada abad XVII masih sedikit orang Perancis yang pergi ke Makassar.

Uraiannya begini:

Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim pangeran muda untuk melengkapi pendidikan, militer khususnya, pada umur lima atau enam tahun hingga masa remaja. Tersebutlah dua pangeran, Daeng Ruru, 15 tahun dan Daeng Tullolo, 16 tahun. Mereka dua pangeran yang selamat dalam pertempuran di Siam, ketika Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran Makassar yang hidup dalam pengasingan di Siam, seorang muslim, dituduh bersekongkol melawan Raja Siam dan tewas saat pertempuran pada 1686.

Kepala kantor dagang Perancis di Siam memutuskan untuk mengirimkan Daeng Ruru dan Daeng Tullolo ke Perancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. Louis XIV merasa tidak hanya wajib memenuhi kebutu*an hidup mereka, tapi juga mengurusi pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran itu.

Kedua pemuda muslim itu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan Louis bak raja Perancis. Mereka didaftarkan masuk ke kolese jesuit di Louis le-Grand untuk belajar bahasa Perancis sebelum masuk ke sekolah tinggi Clermont yang kondang. Lantas mereka diterima di institut paling bergengsi, yakni sekolah perwira angkatan laut Brest pada 1682. Seleksi untuk masuk ke situ sangat ketat. Kelak, sekolah itu menjadi cikal bakal sekolah marinir tertinggi di Perancis.

Daeng Ruru muda mendapat promosi amat cepat. Lulus sebagai perwira hanya dalam waktu dua tahun. Usianya 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda, setara letnan di angkatan darat. Usia 20, menyandang letnan, setara kapten di angkatan darat.

Konon untuk mencapai prestasi gemilang macam itu, orang harus cerdas dan berharta. Daeng Ruru berhasil karena itu. Tapi anehnya, pada 1706, Louis Pierre Makassar (Daeng Ruru) tak diajak ikut dalam operasi angkatan laut ketika itu. Ia mengirim surat keluhan kepada de Pontchartain, menteri kelautan kerajaan. Protes.

Pada 3 Januari 1707, Daeng Ruru bertugas di kapal Jason. Bersenjatakan 54 meriam, dengan tugas memburu kapal serang Belanda, Vlisingen yang menyerang kawasan laut Belle-ille dan ille de Croix. Tak lama kemudian, Daeng bertugas di kapal Grand yang ke Havana, membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19
Mei 1708, Daeng Ruru tewas didepan Havana setelah bertempur Habis-habisan.

Lain lagi cerita, Daeng Tulolo alias Louis Dauphin Makassar. Ada kisah aneh tentangnya, seperti diungkapkan kamus Moreri: Salah satu dari kedua bersaudara itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah mengetahui kematian saudaranya, pulang dari Perancis untuk mengambilalih takhta nenek moyangnya dan raja mengijinkan naik kapal.

Ia terlihat amat tekun menjalankan agama Katholik dan bahkan sebelum
meninggalkan Perancis, ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan untuk perawan suci, Maria. Ia mendirikan ordo yang disebut 'Bintang'. Para satria dalam ordo itu harus mengenakan pita putih yang diletakkan di bawah perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre Dame, tapi beberapa tahun kemudian gambar itu diturunkan setelah orang tahu kalau pangeran itu telah memeluk agama nenek moyangnya, Islam, dengan alasan poligami.'

Kenaikan pangkat Daeng Tullolo lebih lambat dari kakaknya. Ia lulus sekolah angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum jadi letnan muda pada usia 38 tahun. Pangkat itu disandangnya seumur hidup.

Ia sempat bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Bres 30 November 1736 pada usia 62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.
by Facebook Comment

Hubungan Kekerabatan GOWA-MALAYSIA


Raja Gowa ke 19, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung pernah berpesan kepada anak-anaknya agar ketika dia wafat nanti yang menggantikannya sebagai raja Gowa adalah cucu laki-laki pertamanya, Pesan ini sebagai bentuk perjanjian antara Beliau dan arung Palakka.

Beliau memiliki seorang putri bernama Karaeng Patukangang yang menikah dengan Raja Bone La Patau (keponakan Arung Palakka). Putra pertama mereka bernama La Pareppa To Sappewalie Sultan Ismail.

Sebagai cucu laki-laki pertama Sultan Abdul Djalil, maka La Pareppa pun di angkat menjadi Raja Gowa ke 20.

Pengangkatannya ini kemudian di pemasalahkan oleh bate salapang (Dewan Adat kerajaan Gowa). Dalam tradisi kerajaan Gowa, yang berhak menduduki singgasana kerajaan adalah keturunan langsung Tumanurung dari garis keturunan Bapak. Sementara La Pareppe hanya memiliki garis keturunan Raja Gowa dari Ibu nya (Karaeng Patukangang). Bapak dari La Pareppe adalah La Patau, Raja Bone.

Di jamannya, La Pareppe pernah memimpin peperangan melawan Raja Bone La Patau yang tidak lain adalah Bapaknya sendiri. Perang di tahun 1710 tersebut di sebut Bundu Pammanakkang.

La Pareppa memiliki seorang Saudara sepupu bernama Muhammad Nazaruddin Karaeng Agang Jene' atau sebutannya Karaeng Aji.
Karaeng Aji adalah keturunan langsung Raja Gowa Sultan Abdul Djalil. Ibunya Siti Aminah adalah putri Sultan Bima.

Sebagai keturunan langsung Raja Gowa, Karaeng Aji merasa lebih berhak menjadi Raja Gowa dari pada La Pareppa, apalagi Beliau telah digadang-gadang oleh dewan Adat Bate Salapang untuk menggantikan La Pareppa sebagai raja Gowa(namun Akhirnya yang menggantikan La Pareppa adalah I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi).

Tapi Karaeng Aji tidak mau ribut, maka seperti kebiasaan orang-orang Gowa Makassar maka beliau pun pergi merantau meninggalkan Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang. Di negeri Pahang, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan.

setelah itu, Karaeng Aji kemudian menikahi salah seorang Putri di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia diantaranya : Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak (PM Malaysia sekarang/ Ke 6), Tun Abdul Razak (PM Malaysia ke 2) dan Dato Musa Hitam.

Kemarin, Jumat 15 Mei 2009, Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak bersama Istrinya Datin Sri Rohmah Mansyur melakukan Kunjungan Ke Gowa dalam Rangka Ziarah Ke Makam Leluhurnya di Kompleks Pemakaman Sultan Hasanuddin yang terletak di daerah di Jalan Pallantikang, Katangka, Sungguminasa, Gowa. di Perbatasan Gowa Makassar beliau Di sambut dengan Pasukan Berkuda dan Paganrang(rombongan penabuh Gendang)

Dalam sambutannya Kemarin dihalaman Rumah Jabatan Bupati Gowa, Datuk Sri Mohd NajibTun Abdul Razak Menegaskan dirinya sebagai Putra Gowa : " Saya adalah Anak Gowa, Saya keturunan langsung Raja Gowa dan Hari ini saya Balik ke Gowa Bukan untuk Merampas Tahta Raja Gowa, Melainkan untuk menjalin semangat kekeluargaan yang sebenarnya tidak putus....,Saya adalah Anak Gowa yang merantau 11 (sebelas) Generasi lamanya", Ungkap Beliau. dan jika tidak ada aral Melintang, Beliau berjanji untuk kembali datang pada saat Hari jadi Gowa yang jatuh pada Tanggal 17 November.
by Facebook Comment

My Contact


HUBUNGI SAYA DI :
e-mail : suwandymardan@gmail.com
Facebook : http://www.facebook.com/suwandymardan
Hp : 08975538008
by Facebook Comment